BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Berbicara
tentang tafsir maudhu’i karena banyaknya metode tafsir dalam menafsiri
alqur’an, untuk mencari maksud atau makna yang terkandung dalam al qur’an yang
sangat dalam maka para mufassir dengan berbagai ilmu yang dia miliki terus
menggali beberapa tafsir al qur’an Metode yang digunakan meliputi berbagai
objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu masalah, berhubungan
dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisik pun tidak
terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana
untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Dalam kaitan ini, studi
tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan
Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Metode tafsir Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus
diperhatikan ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Maka, apabila seseorang
menafsirkan ayat Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan
keliru dalam penafsirannya. latar belakang kehidupan dan pendidikan atau karena
perbedaan intensitas dan ekstensitas wawasan mufassir. Namum dapat kita
prediksi betapa hal-hal yang kontradiktif dan perbedaan pendapat tadi merupakan
sumber penyakit dan merupakan pangkal kehancuran bagi umat Ialam.
Oleh
karena itu, kita perlu memiliki atau memilih metode penafsiran yang dapat
dipandang memuaskan, tanpa memastikan bahwa hasil penafsiran itu adalah
benar-benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah swt. Yang jelas untuk
mengambil hasil penafsiran seorang mufassir tidaklah bijaksana kalau diterima
begitu saja atau disalahkan/dikritik begitu saja, tanpa mengetahui dan meneliti
metode tafsir yang digunakan oleh mufassir. Pada akhir-akhir ini muncul
berbagai metode tafsir ke permukaan yang pada hakekatnya semua metode tersebut
sebagai upaya mengungkap maksud-maksud Alquran dalam menjawab permasalahan
umat. Salah satu metode tafsir yang paling populer akhir-akhir ini ialah metode
tafsir maudhu’i (tematik). Dengan penggunaan metode ini diharapkan dapat
merupakan sebuah jawaban Alquran terhadap berbagai masalah yang timbul atau
paling tidak menambah perbendaharaan dalam ulumul quran. Dikatakan dapat
menjawab permasalahan umat, karena prosedur kerja metode ini adalah mengambil
berbagai ayat-ayat yang representatif dari seluruh Alquran yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas. kemudian mufassir melengkapi dirinya dengan
berbagai macam ilmu tafsir, menghubungkan masalah dengan interdiaipliner atau
multidiaipliner, dan ditarik kembali kepada Alqur’an, serta pada akhimya
menemukan sebuah jawaban Alquran terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Dalam kerangka memahami Alquran
upaya yang dilakukan adalah melalui penafsiran-penafiran. Dengan cara ini
diharapkan segala kandungan makna Alquran yang masih terselubung dalam teks
(lafa§) dapat terbuka sehingga menjadi sesuatu yang jelas. Bila ditinjau dari
sudut pandang sejarah penafsiran Alquran tentunya beraneka ragam metode serta
bentuk dalam penafsirannya. Para ulama telah membagi metode penafsiran Alquran
kepada empat metode, yaitu : metode tahlili (analitik), metode ijmal³ (umum),
metode muqar³n (komparasi), dan metode Maudu’i (tematik)
Tafsir Tematik yaitu : suatu metode
Tafsir yang berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surat dan yang
berkaiatan pula dengan persoalan atau tema yang ditetapkan sebelumnya, kemudian
membahas dan mengnalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi suatu
kesatuan yang utuh.[6] Dari berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut
diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Tafsir Tematik yaitu suatu
metode penafsiran Alquran dimana para mufassir berupay mengumpulkan ayat-ayat
Alquran dari berbagai surat yang memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah
kepada suatu pengertian dan tujuan yang sama pula.
Maka dalam Makalah yang sederhana
ini penulis mencoba untuk membuat makalah
Tafsir tematik yang membahas tentang pendidikan, lingkungan hidup,
pemberdayaan masyarakat,seni budaya dan olahraga, pembinaan remaja /generasi.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan tafsir tematik?
2. Bagaimanakah
tafsir tematik yang membahas tentang pendidikan?
3. Bagaimanakah
tafsir tematik yang membahas tentang lingkungan hidup?
4. Bagaimanakah
tafsir tematik yang membahas tentang pemberdayaan masyarakat?
5. Bagaimanakah
tafsir tematik yang membahas tentang seni budaya dan olahraga?
6. Bagaimanakah
tafsir tematik yang membahas tentang pembinaan generasi remaja?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan penulisan dari makalah ini untuk mengetahui:
1. Pengertian tafsir tematik
2. Tafsir
tematik yang membahas tentang pendidikan
3. Tafsir
tematik yang membahas tentang lingkungan hidup
4. Tafsir
tematik yang membahas tentang pemberdayaan masyarakat
5. Tafsir
tematik yang membahas tentang seni budaya dan olahraga
6. Tafsir
tematik yang membahas tentang pembinaan generasi remaja
D.
MANFAAT
PENULISAN
1. Untuk
menambah pengetahuan tentang Tafsi tematik yang membahas tentang tentang pendidikan, lingkungan
hidup, pemberdayaan masyarakat,seni budaya dan olahraga, pembinaan remaja
/generasi.
2. Sebagai
acuan untuk memperoleh wawasan yang luas tentang tafsir tematik
3. Sebagai
bahan referensi untuk mendapatkan informasi tentang Tafsir Tematik dalam
mengembangkan pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Tematik
Banyak pengertian yang dapat diberikan terhadap tafsir tematik.
secara etimologi maudhu`i berarti tema atau pembicaraan.[2] Menurut Ali Hasan Al-Aridh, Tafsir Tematik adalah
suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan jalan menghimpun
seluruh ayat-ayat Alquran ynag berbicara tentang suatu pokok pembicaraan
atau tema (maudhu`i) yang mengarah kepada satu
pengertian atau tujuan.[3] Al-Farmawi juga memberikan
pengertian tentang terhadap Tafsir Tematik yaitu suatu metode
menghimpun ayat-ayat Alquran yang memiliki kesamaan tema dan arah serta
menyusunnya berdasarkan turunnya ayat-ayat tersebut, kemudian merangkainya
dengan keterangan-keterangan serta mengambil suatu kesimpulan.[4] Sedangkan menurut Zahir bin Awadh, Tafsir Maudu’i yaitu
: suatu metode pengeumpulan ayat-ayat Alquran yang terpisah-pisah dari berbagai
surat dalam Alquran yang berhubungan dengan opik (tema) yang sama baik secara
lafa§ Maupun Hukum, dan menafsirkannya sesuai dengan tujuan-tujuan Alquran.[5]
Sementara itu Baqir Al-Sadr memberikan pengertian, bahwa Tafsir Tematik yaitu
: suatu metode Tafsir yang berupaya menghimpun ayat-ayat
Alquran dari berbagai surat dan yang berkaiatan pule dengan persoalan atau tema
yang ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan mengnalisa kandungan
ayat-ayat tersebut sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh.[6] Dari berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut diatas, maka
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Tafsir Tematik yaitu
suatu metode penafsiran Alquran dimana para mufassir berupay mengumpulkan
ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang memiliki kesamaan tema, sehingga
mengarah kepada suatu pengertian dan tujuan yang sama pula.
Tafsir
Al-Maudhu’i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-Qur’an
al-Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun
ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kasatuan) untuk
kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut
cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan
makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsur serta menghubungkannya antara yang
satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komfrehensif.
Metode
maudhu’i dapat dikelompokkan kepada dua macam; berdasarkan surat al-Qur’an dan
berdasarkan tema pembicaraan al-Qur’an. Tafsir yang menempuh metode maudhu’i
cara pertama yang berangkat dari anggapan bahwa setiap surat al-Qur’an memiliki
satu kesatuan yang utuh. Tafsir al-Qur’an yang menempuh metode maudhu’i cara
kedua dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap satu- persatu masalah
yang disinggung oleh al-Qur’an dalam berbagai ayat-ayatnya.
Metode
ini adalah metode tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara tematik dengan
membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan tema dan judul yang telah
ditetapkan. Dengan kata lain, penafsir yang menggunakan metode ini akan
meneliti ayat-ayat al-Qur’an dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar,
yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan
sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul
menguasainya, sehingga memungkinkan untuk memahami maksud yang terdalam dan
dapat menolak segala krtik.
Metode
ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu,
lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun
semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat,
lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat masih umum dikaitkan dengan
yang khusus, yang muthlak digandengkan denga yang muqayyad, dan lain-lain,
sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian
disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema
yang dibahas itu.
Tafsir
tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas
sehingga diproleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan; baik bagi
mufassir sendiri, maupun bagi pembaca dan pendengar bahkan oleh umat secara
keseluruhan. Karena tujuannya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang
sedang dialami oleh umat itu, maka diabad modern ini para ulama lebih gandrung
menggunakan metode tematik dari pada metode-metode yang lain.
Metode
maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur belum lama lahir. Orang yang
pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Al-Jalil Ahmad As-Sa’id Al-Kumi,
ketua jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar. Langkah-langkahnya kemudian
diikuti oleh teman-temannya dan mahasiswa-mahasiswanya.
Dua
langkah pokok dalam proses penafsiran yang dikemukakan oleh Farmawi dalam
penafsiran secara maudhu’i.
1.
Mengumpulkan
ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu maudhu’ tertentu dengan memperhatikan
masa dan sebab turunnya.
2.
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi) satu
dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang
dibicarakan.
B.
Tafsir Tematik
Yang Membahas Tentang Pendidikan
Penjelasan Al-Qur’an, surat al-Rahman
ayat 1-4
الرَّحْمَنُ (١) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (٢) خَلَقَ
الإنْسَانَ (٣) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (٤)
1. (tuhan) yang Maha pemurah,
2. yang
telah mengajarkan Al Quran.
3. Dia
menciptakan manusia.
4.
mengajarnya pandai berbicara.
Pada surah
ar-Rahman ayat 1-4 ditegaskan disini bahwa yang menjadi subjek pendidikan
adalah seorang manusia yang merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling
sempurna karena diberikan olehnya sesuatu yang tidak ia berikan kepada makhluk
ciptaannya yang lain yakni akal yang mengangkat derajat manusia sehingga
manusialah yang berhak menjadi subjek pendidikan baik bagi sesama ataupun bagi
makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
Ayat 1-2, Allah yang Maha Pengasih, baik di
dunia, akhirat ataupun keduanya yang Rahmatnya meliputi segala sesuatu. Allah
SWT mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia sehingga Dia memudahkan Al-Qur’an
untuk dihafal, dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ar Rahman dalam surat
ini dapat diartikan sebagai seruan awal agar semua memperhatikan tentang
informasi, yaitu informasi mengenai berbagai macam nikmat dari ar Rahman.
Nikmat pertama ialah “Yang telah
mengajarkan Al-Qur’an”. Dengan demikian maka jelaslah tujuan Allah
mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia yakni agar manusia yang juga sebagai
penghuni alam semesta dapat peka dan paham terhadap segala sesuatu yang ada
dalam Al-Qur’an.
Ayat 3-4, Allah menciptakan pada diri
manusia tenaga untuk menjelaskan apa yang terkandung dalam pemikirannya dengan
bahasa yang dapat dipahami. Manusia tidak dapat hidup sendirian, mereka memerlukan
orang lain. Oleh karena itu mereka memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi
dan alat untuk memelihara ilmu yang diterimanya dari orang-orang sebelumnya
untuk disampaikan kepada orang sesudahnya.
Dalam surat al-Rahman ayat 1-4 pada
awal surat menggunakan kata ar-Rahman (الرَّحمن) yang bertujuan
untuk mengundang rasa ingin tahu kaum musyrikin Mekkah pada waktu itu, dengan
harapan mereka akan tergugah untuk mengakui nikmat Allah dan beriman kepada
Allah.
Selain itu, ayat-ayat ini juga turun
sebagai bantahan bagi penduduk mekah yang terdapat dalam Surat an Nahl
ayat 103 yang mengatakan bahwa Al Qur’an diajarkan oleh Manusia biasa terhadap
Nabi Muhammad. Sehingga pada ayat ini Allah menunjukan dan menyatakan bahwa
Allah lah yang telah mengajarkan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw melalui
Malaikat Jibril yang selanjutnya akan diajarkan kepada umatnya.
Selain ayat ini, ada juga ayat lain
yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad itu bukan diajar atau dididik oleh manusia
biasa melainkan dididik oleh Allah melalui malaikat Jibril yakni Surat an
Najm ayat 5 dan 6, yang penjelasannya akan dijelaskan pada pembahasan
selanjutnya.
Dalam surat ar Rahman juga
terdapat kata (عَلّمَ) yang mashdarnya (تَعْلِيْمُ) mempunyai
arti proses transportasi ilmu. Ini menunjukan kenyataan bahwa memang benar Al
Qur’an itu diturunkan kepada Nabi muhammad secara berangsur-angsur dan
pengajaran Al Qur’an kepada manusia itu memang secara bertahap sehingga Al
Qur’an bisa dipahami oleh manusia.
Di ayat selanjutnya terdapat kata al
insan (الانسن) kata ini memiliki makna seluruh manusia bukan hanya
nabi Muhammad saja. Dalam penciptaan manusia terdapat pula penciptaan alat-alat
tubuh yang digunakan untuk berkomunikasi seperti lidah, bibir, tenggorokan, dan
paru-paru. Semua organ inilah yang nantinya akan terlibat dalam proses
menghasilkan sebuah suara. Sehingga semua proses penghasilan suara ini dapat
dimasukan kedalam pengajaran al Bayan.
Kata (البيان) al bayan pada
mulanya berarti jelas. Kata tersebut dipahami oleh Thabathaba’i dalam arti “potensi
mengungkap” yakni kalam atau ucapan yang dengannya dapat terungkap
apa yang ada dalam benak. Lebih lanjut, ulama’ ini mengatakan bahwa kalam
bukan sekedar mewujudkan suara, dengan menggunakan rongga dada, tali suara, dan
kerongkongan. Bukan juga hanya dalam keanekaragaman suara yang keluar dari
kerongkongan akibat perbedaan makharij al-huruf atau tempat-tempat
keluarnya huruf dari mulut. Tetapi juga bahwa Allah Swt menjadikan
manusia dengan mengilhaminya, yakni mampu memahami makna suara yang keluar itu.
Lain halnya dengan Thabathaba’i,
Ibnu al Qayyim lebih menspesifikan al bayan ke dalam tiga tingkatan yang
masing-masing didefinisikan dengan bayan :
- Bayan
pertama
adalah pandai berfikir yakni dapat memilah-milah informasi, bayan
pertama ini untuk hati.
- Bayan kedua adalah pandai berbicara
yakni mampu mengungkapkan informasi dan menerjemahkanya untuk orang lain,
bayan kedua ini untuk telinga.
3. Bayan ketiga adalah pandai menulis, yakni
dapat menuliskan kata-kata sehingga orang yang melihat dapat mengerti maknanya
seperti orang yang mendengar, bayan ini untuk mata.
Dengan demikian jelas bahwa manusia
itu pada dasarnya sudah diajari atau dianugrahi oleh Allah Swt dua buah
kemampuan. Pertama, kemampuan untuk mengajarkan sesuatu kepada orang
lain, walaupun pengajaran yang dilakukan manusia itu sifatnya terbatas. Kedua,
kemampuan untuk menyerap pengajaran dari orang lain. Jika dihubungkan ke dalam
hal Pendidikan, maka kedua kemampuan inilah yang akan menjadi kunci bagi
sesuatu agar bisa disebut dengan pelaku pendidikan atau yang biasa disebut
dengan Subyek pendidikan.
Penjelasan Al-Qur’an, surat al-Nahl
ayat 43-44
(43) Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
(44) Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.(Q.S
al-Nahl ayat 43-44)
Ayat 43, Allah menyatakan bahwa Dia tidak
mengutus seorang rosul pun sebelum nabi Muhammad kecuali manusia yang
diberi-Nya wahyu. Ayat ini menggambarkan bahwa rosul-rosul yang diutus itu
hanyalah laki-laki dari keturunan Adam sampai nabi Muhammad saw yang bertugas
membimbing umatnya agar mereka beragama tauhid dan mengikuti bimbingan wahyu.
Oleh karena itu yang pantas diutus untuk melakukan tugas itu adalah rosul-rosul
dari jenis mereka dan berbahasa mereka.
Dalam ayat ini juga, Allah swt
meminta orang-orang musyrik agar bertanya kepada orang-orang ahli kitab apakah
didalam kitab mereka terdapat keterangan bahwa Allah pernah mengutus malaikat
kepada mereka. Kalau memang disebutkan didalam kitab mereka bahwa Allah pernah
menurunkan malaikat sebagai utusan Allah, mereka boleh mengingkari kerosulan
Muhammad. Tetapi, apabila disebutkan dalam kitab mereka bahwa Allah hanya
mengirim utusan seorang manusia yang sejenis dengan mereka , maka sikap mereka
mengingkari kerosulan Muhammad saw itu tidak benar.
Ayat 44, Allah menjelaskan bahwa para rosul
diutus dengan membawa bukti-bukti tentang kebenaran mereka, yaitu berupa
mukjizat-mukjizat. Allah juga menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad supaya
beliau menjelaskan kepada manusia mengenai ajaran, perintah, larangan, dan
aturan hidup yang harus mereka perhatikan dan mereka amalkan. Al-Qur’an juga
mengandung kisah-kisah umat terdahulu agar dijadikan suri tauladan dalam
menempuh hidup di dunia.
Telah diketahui sebelumnya bahwa
kaum musyrikin selalu melakukan penolakan menyangkut kerasulan Nabi Muhammad.
Dalam penolakan itu mereka selalu berkata manusia tidak wajar menjadi utusan
Allah. Mereka menginginkan bahwa yang diutus itu haruslah Malaikat. Kemudian
ayat ini turun dan menegaskan tentang jawaban dari penolakan itu. Selain
memberikan jawaban mengenai penolakan kaum musyrikin, ayat-ayat ini juga dapat
dipahami sebagai perintah Allah untuk mereka yang tidak mengetahui agar
bertanya kepada yang tahu. Adapun orang yang berpengetahuan itu disebut (اهل
الذكر) ahluz-zikri.
Dalam hal ini ahluz-zikri
yang dimaksud adalah ahli kitab. Kaum musyrikin diperintakan untuk bertanya
kepada para ahli kitab sebab mereka lah yang dianggap tahu mengenai isi dari
kitab-kitab terdahulu. Walaupun ayat ini dirujukan kepada Ulama yahudi dan
nasrani, tetapi cakupan ayat ini juga bisa berarti lebih umum lagi, yakni bagi
mereka yang kurang memahami suatu hal perlu bertanya kepada ahlinya,
termasuk diantaranya Ulama Islam.
Sejatinya yang diperintahkan untuk
berfikir serius atau mendetail mengenai isi dan kandungan Al Qur’an bukan hanya
Nabi Muhammad seorang, tetapi seluruh manusia. Sebab Al Qur’an itu merupakan hidayah
dari Allah yang fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi manusia dalam
mengelola hidupnya di dunia secara baik, dan merupakan rahmat untuk seluruh
alam semesta.
Dari berbagai penjelasan diatas jika
dihubungkan dengan pendidikan, maka akan muncul 2 hal penting. Pertama,
Mengenai Gambaran seperti apa seharusnya pelaku pendidikan atau yang sering
disebut dengan Subyek pendidikan itu, dan yang Kedua, Mengenai bahan
ajar atau sesuatu yang akan diajarkan dan diterima oleh para pelaku pendidikan
tersebut.
Penjelasan Al-Qur’an, surat al-Najm
ayat 5-6
عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلْقُوَىٰ
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang
sangat kuat. (An-Najm 53:5)
«علمه» إياه ملك «شديد القوى».
(Yang diajarkan kepadanya) oleh malaikat
(yang sangat kuat). (Tafsir Al-Jalalain, An-Najm 53:5)
Ayat 6
ذُو مِرَّةٍ فَٱسْتَوَىٰ
yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril
itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. (An-Najm 53:6)
«ذو مرة» قوة وشدة أو منظر حسن،
أي جبريل عليه السلام «فاستوى» استقر.
(Yang mempunyai kecerdasan) yang mempunyai
kekuatan dan keperkasaan, atau yang mempunyai pandangan yang baik, yang
dimaksud adalah malaikat Jibril a.s. (maka menetaplah ia) maksudnya,
menampakkan diri dengan rupa aslinya. (Tafsir Al-Jalalain, An-Najm 53:6)
Ayat 5, dalam ayat
ini Allah SWT menerangkan bahwa nabi Muhammad SAW diajari oleh malaikat jibril.
malaikat jibril itu sangat kuat, baik ilmunya maupun amalnya. Dari
sinilah jelas bahwa nabi Muhammad itu bukan diajari oleh manusia, tapi beliau
diajari oleh malaikat yang sangat kuat.
Ayat 6, Allah SWT menerangkan dalam ayat
ini, bahwa malaikat jibril memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti dalam
suatu riwayat yang menjelaskan bahwa malaikat jibril pernah membalikkan
perkampungan nabi Lut kemudian mereka diangkat ke langit lalu dijatuhkan ke
bumi. Ia juga pernah menghembuskan kaum nabi samud hingga berterbangan. Dan
apabila ia turun ke bumi hanya dibutuhkan waktu sekejap mata. Ia juga dapat
berubah bentuk seperti manusia.
Kata ( (علّمه‘allamahu/
diajarkan kepadanya bukan berarti wahyu tersebut bersumber dari malaikat
jibril. Malaikat menerima wahyu dari Allah dengan tugas menyampaikannya secara
baik, dan benar kepada nabi Muhammad saw, dan itulah yang dimaksud dalam
pengajaran disini.
Kata ( (مرّةmirrah
berarti melilitkantali guna menguatkan sesuatu. Kata ) ذو مرّة) dzu
mirrah digunakan untuk menggambarkan kekuatan nalar dan tingginya kemampuan
seseorang.
Penjelasan Al-Qur’an, surat al-Kahfi
ayat 66
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ
أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata
kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Ayat ini menyatakan bahwa maksud
Nabi Musa as datang kepada al-Khidir, yaitu untuk berguru kepadanya. Nabi Musa
as memberi salam kepada al-Khidir seraya berkata, “Saya adalah Musa”. Al-Khidir
bertanya kepadanya (Nabi Musa as), “Musa dari Bani Isra’il?”. Musa menjawab,
“Ya benar!”. Maka al-Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata, “Apa
keperluannmu datang kemari?”. Nabi Musa as menjawab, bahwa beliau datang
kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud supaya al-Khidir mau
mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang telah Allah ajarkan kepada al-Khidir
itu, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang shaleh.
Dalam ayat ini Allah menggambarkan
secara jelas sikap Nabi Musa as sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan
mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan, itu berarti Nabi Musa as sangat
menjaga kesopanan dan merendahkan hati. Beliau menempatkan diri sebagai orang
yang bodoh dan mohon diperkenankan mengikutinya supaya al-Khidir sudi
mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah berikan kepadanya.
C.
Tafsir Tematik
Yang Membahas Tentang Lingkungan Hidup
Pemeliharaan
lingkungan hidup merupakan penentu keseimbangan alam. Dalam konteks pelestarian
lingkungan, pemahaman ini sudah kita dengar sejak lama. Bahkan, pelajaran ilmu
alam seolah tidak henti hentinya mengajarkan bahwa semua komponen ekosistem
baik berwujud makhluk hidup maupun komponen alam lainnya, merupakan sebuah
kesatuan yang harus berjalan seimbang dan tidak boleh timpang satu dengan yang
lain. Namun dalam tataran aplikasinya, manusia harus banyak mengkaji serta
mempertanyakan efektivitas hasil dari hal hal tersebut. Dan tentunya setelah
semuanya disadari, manusia layak melakukan instrospeksi atas berbagai potret
bencana yang terjadi di belahan bumi belakangan ini. Sudah tepatkah mereka
dalam melaksanakan amanat sebagai pengendali ekosistem alam? Ataukah kerusakan
demi kerusakan menjadi sebuah proses alami yang tidak mungkin terkendali?.
Allah dalam Al-Qur’an
memfirmankan tentang dimensi alam semesta dalam beberapa perspektif. Dalam QS.
al-Hadid : 4
Artinya : “Dialah yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, Dia mengetahui
apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun
dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja
kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat ini Allah
memaparkan bahwa secara makro alam semesta terpusat pada dua tempat, langit dan
bumi, mungkin karena selama ini akal manusia masih sangat naif untuk mampu
menjangkau alam lain selain keduanya. Hanya saja sunatullah dalam wacana alam
menentukan situasi di bumi sebagai obyek dominan, selain pembicaraan seputar
alam akhirat. Dengan sebab itulah, kalam Al-Qur’an dalam bagian berikutnya
mulai mengilustrasikan kondisi bumi dan segala isinya dengan corak dan
keberagaman yang ada
Allah menggariskan
takdirnya atas bumi, pertama kalinya dengan memberikan segala fasilitas terbaik
bagi semua penghuni bumi. Diciptakanlah lautan yang maha luas dengan segala
kekayaan di dalamnya. Air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa masa
keringnya. Belum cukup dengan itu semua, Allah memperindah polesan kehidupan
di muka bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di
angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan
segala penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah titipan amanat kepada
manusia, dalam QS. al-A’raaf : 56
Artinya : “Dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Setiap amanat
semestinya harus dijaga. Setiap titipan tentunya harus disampaikan. Akan tetapi
manusia telah merusak dirinya dengan kemaksiatan setelah Allah menancapkan
tonggak syariat melalui panji-panji rasulnya. Manusia merusak bumi dan segala
isinya setelah sekian banyak nikmat telah Allah berikan kepada mereka.
Kerusakan moralitas agama menjadi awal mula sebelum kemudian ambisi duniawi
menjadi penentu rusaknya tatanan lingkungan di atas muka bumi ini Allah
melarang melakukan segala kerusakan, baik sedikit maupun banyak, setelah
melakukan perbaikan, baik sedikit maupun banyak.
D.
Tafsir Tematik
Yang Membahas Tentang Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Al-Qur’an Istilah
masayarakat dapat dilihat dari adanya berbagai istilah lain yang dapat
dihubungkan dengan konsep pembinaan masyarakat, seperti istilah ummat,
qaum, syu’ub, qabail dan lain sebagainya. Istilah ummat
dapat dijumpai pada ayat yang berbunyi :
“ Kamu sekalian adalah ummat
yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT “. (QS. Ali
Imran : 110)
Kata ummah pada ayat
tersebut, berasal dari kata amma, yaummu yang berarti jalan dan
maksud. Dari asal kata tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat adalah
kumpulan perorangan yang memiliki keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun
diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan bersama.
Selanjutnya dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an,
masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama,
waktu, tempat baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri.
1. Abu Ahmadi dalam bukunya “ilmu
sosial dasar” mendefinikan bahwa Masyarakat adalah golongan besar atau kecil
dari beberapa manusia, yang dengan sendirinya bertalian secara golongan dan
mempunyai pengaruh satu sama lain.
Kelompok
dimana orang yang berada didalamnya terikat oleh tanggung jawab dan oleh
identitas bersama. Inti dari pendapat- pendapat tersebut, adalah bahwa
masyarakat tempat berkumpulnya manusia yang didalamnya terdapat sistem
hubungan, aturan serta pola- pola hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang
Pembinaan Masyarakat
a. Ayat
Al-Qur’an Surat Al-Hujurat Ayat : 9-13
Artinya : (9) “Dan apabila ada dua
golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah
satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain , maka
perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu. Sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah SWT. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah
Allah SWT), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil.
Sungguh Allah SWT mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Tafsir
يقول تعالى ذكره: وإن طائفتان من أهل الإيمان اقتتلوا، فأصلحوا
أيها المؤمنون بينهما بالدعاء إلى حكم كتاب الله، والرضا بما فيه لهما وعليهما،
وذلك هو الإصلاح بينهما بالعدل( فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى )
يقول: فإن أبَت إحدى هاتين الطائفتين الإجابة إلى حكم كتاب الله له، وعليه وتعدّت
ما جعل الله عدلا بين خلقه، وأجابت الأخرى منهما( فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي )
يقول: فقاتلوا التي تعتدي، وتأبى الإجابة إلى حكم الله( حَتَّى تَفِيءَ إِلَى
أَمْرِ اللَّهِ ) يقول: حتى ترجع إلى حكم الله الذي حكم في كتابه بين خلقه
( فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ )
يقول: فإن رجعت الباغية بعد قتالكم إياهم إلى الرضا بحكم الله في كتابه، فأصلحوا
بينها وبين الطائفة الأخرى التي قاتلتها بالعدل: يعني بالإنصاف بينهما، وذلك حكم
الله في كتابه الذي جعله عدلا بين خلقه.
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد في قوله(
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا )… إلى آخر الآية، قال: هذا
أمر من الله أمر به الوُلاة كهيئة ما تكون العصبة بين الناس، وأمرهم أن يصلحوا
بينهما، فإن أبوْا قاتل الفئة الباغية، حتى ترجع إلى أمر الله، فإذا رجعت أصلحوا
بينهما، وأخبروهم أن المؤمنين إخوة، فأصلحوا بين أخويكم; قال: ولا يقاتل الفئة
الباغية إلا الإمام.
(9) Allah SWT menerangkan bahwa jika ada dua golongan orang
mukmin berperang, maka harus diusahakan perdamaian antara kedua pihak yang
bermusuhan itu dengan jalan berdamai sesuai ketentuan hukum Allah SWT
berdasarkan keadilan untuk kemaslahatan mereka yang bersangkutan. Jika setelah
diusahakan perdamaian itu masih ada yang membangkang dan tetap juga berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain, maka golongan yang agresif yang berbuat
aniaya itu harus diperangi sehingga mereka kembali untuk menerima hukum Allah
SWT.
Jika golongan yang membangkang itu telah tunduk dan kembali
kepada perintah Allah SWT, maka kedua golongan yang tadinya bermusuhan itu
harus diperlakukan dengan adil dan bijaksana, penuh kesadaran sehingga tidak
terulang lagi permusuhan seperti itu di masa yang akan datang. Allah SWT
memerintahkan supaya mereka tetap melakukan keadilan dalam segala urusan
mereka, karena Allah SWT menyukainya dan akan memberi pahala kepada orang-orang
yang berlaku adil dalam segala urusan.
Artinya : (10) “Sesungguhnya
orang-orang yang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (orang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah SWT agar kamu
mendapat rahmat.”
Tafsir
وقوله: { إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ } أي: الجميع إخوة
في الدين، كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا
يسلمه” (5) . وفي الصحيح: “والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه” (6) .
وفي الصحيح أيضا: “إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك: آمين، ولك بمثله”
(7) . والأحاديث في هذا كثيرة، وفي الصحيح: “مثل المؤمنين في تَوادِّهم وتراحمهم
وتواصلهم كمثل الجسد الواحد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحُمَّى
والسَّهَر”. وفي الصحيح أيضا: “المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا” وشبك بين
أصابعه (8) وقوله: { فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ } يعني: الفئتين
المقتتلتين، { وَاتَّقُوا اللَّهَ } أي: في جميع أموركم { لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
} ، وهذا تحقيق منه تعالى للرحمة لمن اتقاه.
(10) Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa
sesungguhnya orang-orang mukmin semuanya bersaudara seperti hubungan
persaudaraan antara nasab, karena sama-sama menganut unsur keimanan yang sama
dan kekal dalam syurga. Dalam sebuah hadist diriwayatkan:
الُمسْلِمُ أَخُوالمُسْلِمِ لاَ يظلِمُهُ وَلَا يَسْلِمُهُ
وَمَنْ كَانَ فِي حَا جَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَا جَتِهِ وَمَنْ فَرَجَ عَنْ
مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَجَ اللهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُربَا تٍ يَومِ الْقِيَامَةِ
وَمَن سَتَرَمُسْلِمًا سَتَرَهُ الله يَومَ القِيامَةِ. (رواه البخاري عن عبد الله
بن عمر)
Artinya:
“Muslim itu adalah saudara muslim
yang lain, jangan berbuat aniaya dan jangan membiarkannya melakukan aniaya.
Orang yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah SWT membantu kebutuhannya.
Orang yang melonggarkan satu kesulitan dari seorang muslim, maka Allah SWT
melonggarkan satu kesulitan di antara kesulitan-kesulitannya pada hari Kiamat.
Orang yang menutupi aib saudaranya, maka Allah SWT akan menutupi kekurangannya
pada hari kiamat.” (Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘umar)
Pada hadist sahih yang lain dinyatakan:
اِذَا دَعَا المُسْلِمُ لِأَخِيهِ بِضَهْرِ الغَيبِ قَالَ
المَلَكُ : أَمِينَ وَلَكَ بِمِثْلِهِ. (رواه مسلم عن عبي الدرداء)
Artinya:
“Apabila seorang muslim mendo’akan
saudaranya yang gaib, maka malaikat berkata, “Amin, dan semoga kamu pun
mendapat seperti itu.” (Riwayat Muslim dan Abu ad-Darda’)
Karena persaudaraan itu mendorong ke
arah perdamaian, maka Allah SWT menganjurkan agar terus diusahakan di antara
saudara seagama seperti perdamaian di antara saudara keseturunan, supaya mereka
tetap memelihara ketakwaan kepada Allah SWT. Mudah-mudahan mereka
memperoleh rahmat dan ampunan Allah SWT sebagai balasan terhadap usaha-usaha
perdamaian dan ketakwaan mereka. Dari ayat tersebut dapat dipahami perlu adanya
kekuatan sebagai penengah untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai.
Sebab Nuzul
Diriwayatkan oleh Qatadah bahwa ayat
ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa dua orang dari sahabat Anshar yang
bersengketa tentang suatu urusan hak milik. Salah seorang dari mereka berkata
bahwa ia akan mengambil haknya dari yang lain dengan paksaan. Ia mengancam
demikian karena banyak pengikutnya, sedangkan yang satu lagi mengajak dia
supaya minta keputusan Nabi sw. Ia tetap menolak sehingga perkaranya
hampir-hampir menimbulkan perkelahian dengan tangan dan terompah, meskipun
tidak sampai menggunakan senjata tajam.
(LARANGAN SALING MENGEJEK DAN
BERPRASANGKA)
Artinya:
(11) Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi
mereka (yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan
lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokan) lebih baik dari
perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain
dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang
siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Tafsir
ينهى تعالى عن السخرية بالناس، وهو احتقارهم والاستهزاء بهم،
كما ثبت في الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: “الكِبْر بطر الحق وغَمْص
الناس” ويروى: “وغمط الناس” (1) والمراد من ذلك: احتقارهم واستصغارهم، وهذا حرام،
فإنه قد يكون المحتقر أعظم قدرا عند الله وأحب إليه من الساخر منه المحتقر له؛
ولهذا قال: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى
أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ } ، فنص على نهي الرجال وعطف بنهي النساء.
وقوله: { وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } أي: لا تلمزوا الناس
. والهمَّاز اللَّماز من الرجال مذموم ملعون، كما قال [تعالى] : (2) { وَيْلٌ
لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ } [الهمزة : 1] ، فالهمز بالفعل واللمز بالقول، كما
قال: { هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ } [القلم : 11] أي: يحتقر الناس ويهمزهم
طاعنًا عليهم، ويمشي بينهم بالنميمة وهي: اللمز بالمقال؛ ولهذا قال هاهنا: { وَلا
تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } ، كما قال: { وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ } [النساء :
29] أي: لا يقتل بعضكم بعضا (3) .
قال ابن عباس، ومجاهد، وسعيد بن جبير، وقتادة، ومقاتل بن
حَيَّان: { وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } أي: لا يطعن بعضكم على بعض.
وقوله: { وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ } أي: لا تتداعوا
بالألقاب، وهي التي يسوء الشخص سماعها.
قال (4) الإمام أحمد: حدثنا إسماعيل، حدثنا داود بن أبي هند،
عن الشعبي قال: حدثني أبو جَبِيرة (5) بن الضحاك قال: فينا نزلت في بني سلمة: {
وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ } قال: قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة
وليس فينا رجل إلا وله اسمان أو ثلاثة، فكان إذا دُعِىَ أحد منهم باسم من تلك
الأسماء قالوا: يا رسول الله، إنه يغضب من هذا. فنزلت: { وَلا تَنَابَزُوا
بِالألْقَابِ }
ورواه أبو داود عن موسى بن إسماعيل، عن وُهَيْب، عن داود، به
(6) .
وقوله: { بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ } أي:
بئس الصفة والاسم الفسوق وهو: التنابز بالألقاب، كما كان أهل الجاهلية يتناعتون،
بعدما دخلتم (7) في الإسلام وعقلتموه، { وَمَنْ لَمْ يَتُبْ }
(11) Dalam ayat ini, Allah SWT
mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah SWT jauh
lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokan. Demikian pula di
kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok
perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang di olok-olok itu pada sisi
Allah SWT lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan-perempuan yang
mengolok-olok.
Allah SWT melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri
karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan
kesatuan dan persatuan. Allah SWT melarang pula memanggil dengan panggilan yang
buruk seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan
kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya, Tersebut dalam sebuah hadist
riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir.
مَسَلُ المُؤْ مِنِينَ فِي تَوَادِّهِم وَتَرَاحُمِهِم وَتَعَا
طُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى مِنهُ عُضوُ تَدَا عَى لَهُ سَاىِرِ
الجَسَدِ بِا الحُمَّى وَالسَّهْرِ. (رواه مسلم و أحمد عن النعما ن بن بشير)
Artinya :
“Perumpamaan orang-orang mukmin
dalam kasih mengasihi dan sayang menyayangi antara mereka seperti tubuh yang
satu: bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa
demam dan terganggu pula.”
انَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ وَاَموَالِكُمْ
وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلَى قُلُو بِكُمْ وَأعْمَا لِكُمْ .(رواه مسلم عن ابي هريرة)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT tidak
memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Ia memandang kepada
hatimu dan perbuatanmu.” ( Riwayat Muslin dan Abu Hurairah).
Hadist ini mengandung isyarat bahwa
seorang hamba Allah SWT jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang
semata-mata karena melihat kepada perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan
seseorang tampak mengerjakan kebajikan, padahal Allah SWT melihat di dalam
hatinya ada sifat yang tercela. Sebaliknya pula mungkin ada orang yang
kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah SWT melihat
dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertobat dari
dosanya. Maka perbuatan yang tampak di luar itu, hanya merupakan tanda-tanda
saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat
meyakinkan, Allah SWT melarang kaum mukminin memanggil orang dengan
panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman.
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah
orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan
yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak
bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk
itu, maka mereka dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang zalim terhadap
diri sendiri d n pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah SWT
pada hari Kiamat.
Sabab Nuzul
Diriwayatkan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan tingkah laku Kabilah Bani Tamim yang pernah
berkunjung kepada Rasulullah saw, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat
yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman al-Farisi,
dan lain-lain karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengemukakan bahwa
ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Safiyyah binti Huyay bin Akhtab yang
pernah datang menghadap Rasulullah saw, melaporkan bahwa beberapa perempuan di
Madinah pernah menegur dia dengan kata-kata yang menyakitkan hati
seperti, “Hai perempuan Yahudi, keturunan Yahudi, dan sebagainya,” sehingga
Nabi saw bersabda kepadanya, “Mengapa tidak engkau jawab saja, ayahku Nabi Harun,
pamanku Nabi Musa, dan suamiku adalah Muhammad.”
Ada pula yang mengaitkan penurunan
ayat ini dengan situasi di Madinah. Ketika Rasulullah saw tiba di kota itu,
orang-orang Anshar banyak yang mempunyai nama lebih dari satu. Jika mereka
dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil dengan nama yang
tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka
turunlah ayat ini.
(LARANGAN BERBURUK SANGKA DAN BERGUNJING)
Terjemah
(12) Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara
kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan
bertakwalah kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT Maha Penerima tobat, Maha
Penyayang.
Tafsir
يقول تعالى ناهيا عباده المؤمنين عن كثير من الظن، وهو التهمة
والتخون للأهل والأقارب والناس في غير محله؛ لأن بعض ذلك يكون إثما محضا، فليجتنب
كثير منه احتياطا، وروينا عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب، رضي الله عنه، أنه قال:
ولا تظنن بكلمة خرجت من أخيك المسلم إلا خيرا، وأنت تجد لها في الخير محملا (1) .
وقال أبو عبد الله بن ماجه: حدثنا أبو القاسم بن أبي ضمرة نصر
بن محمد بن سليمان الحِمْصي، حدثنا أبي، حدثنا عبد الله بن أبي قيس النَّضري،
حدثنا (2) عبد الله بن عمر (3) قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يطوف بالكعبة
ويقول: “ما أطيبك وأطيب ريحك، ما أعظمك وأعظم حرمتك. والذي نفس محمد بيده، لحرمة
المؤمن أعظم عند الله حرمة منك، ماله ودمه، وأن يظن به إلا خير (4) . تفرد به ابن
ماجه من هذا الوجه (5) .
وقال مالك، عن أبي الزِّناد، عن الأعرج، عن أبي هريرة قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إياكم والظن فإن الظن (6) أكذب الحديث، ولا تجسسوا
ولا تحسسوا، ولا تنافسوا، ولا تحاسدوا، ولا تباغضوا، ولا تدابروا، وكونوا عباد
الله إخوانا”.
رواه البخاري عن عبد الله بن يوسف، ومسلم عن يحيى بن يحيى،
وأبو داود عن العتبي [ثلاثتهم] (7) ، عن مالك، به (8) .
وقال سفيان بن عيينة، عن الزهري، عن أنس [رضي الله عنه] (9)
قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا تقاطعوا، ولا تدابروا، ولا تباغضوا،
ولا تحاسدوا، وكونوا عباد الله إخوانا، ولا يحل للمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة
أيام”.
رواه مسلم والترمذي -وصححه-من حديث سفيان بن عيينة، به (10) .
صلى الله عليه وسلم قال: “من حمى مؤمنا من منافق يعيبه (1) ،
بعث الله إليه ملكا يحمي لحمه يوم القيامة من نار جهنم. ومن رمى مؤمنا بشيء يريد
شينه، حبسه الله على جسر جهنم حتى يخرج مما قال”. وكذا رواه أبو داود من حديث عبد
الله -وهو ابن المبارك-به بنحوه (2) .
وقال (3) أبو داود أيضا: حدثنا إسحاق بن الصباح، حدثنا ابن أبي
مريم، أخبرنا الليث: حدثني يحيى بن سليم؛ أنه سمع إسماعيل بن بشير يقول: سمعت جابر
بن عبد الله، وأبا طلحة بن سهل الأنصاري يقولان: قال (4) رسول الله صلى الله عليه
وسلم: “ما من امرىء يخذل امرأ مسلما في موضع تنتهك فيه حرمته وينتقص فيه من عرضه،
إلا خذله الله في مواطن يحب فيها نصرته. وما من امرئ ينصر امرأ مسلما في موضع
ينتقص فيه من عرضه، وينتهك فيه من حرمته (5) ، إلا نصره الله في مواطن يحب فيها
نصرته”. تفرد به أبو داود (6)
.
(12) Allah SWT memberikan peringatan
kepada orang-orang yang beriman supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka
terhadap orang-orang yang beriman. Jika mereka mendengar sebuah ucapan yang
keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka ucapan itu harus mendapat
tanggapan yang baik, dengan ungkapan yang baik, sehingga tidak menimbulkan
salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan
prasangka.
Artinya:
(13) “Wahai manusia! Sungguh, Kami
telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah SWT Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Sebab Nuzul
Diriwayatkan oleh Abu Dawud mengenai
turunnya ayat ini yaitu tentang peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat
yang bernama Abu Hindin yang bisa berkhidmat kepada Nabi Muhammad saw untuk
mengeluarkan darah kotor dari kepalanya dengan pembekam, yang bentuknya seperti
tanduk. Rasulullah saw menyuruh kabilah Bani Bayadah agar kalangan
mereka. Mereka bertanya , “Apakah patut kami menikahkan gadis-gadis kami dengan
budak-budak?” Maka Allah SWT menurunkan ayat ini agar kita mencemoohkan
seseorang karena memandang rendah kedudukannya.
Tafsir
يقول تعالى مخبرًا للناس أنه خلقهم من نفس واحدة، وجعل منها
زوجها، وهما آدم وحواء، وجعلهم شعوبا، وهي أعم من القبائل، وبعد القبائل مراتب أخر
كالفصائل والعشائر والعمائر والأفخاذ وغير ذلك.
وقيل: المراد بالشعوب بطون العَجَم، وبالقبائل بطون العرب، كما
أن الأسباط بطون بني إسرائيل. وقد لخصت هذا في مقدمة مفردة جمعتها من كتاب:
“الإنباه” لأبي عمر (7) بن عبد البر، ومن كتاب “القصد والأمم، في معرفة أنساب
العرب والعجم”. فجميع الناس في الشرف بالنسبة الطينية إلى آدم وحواء سواء، وإنما
يتفاضلون بالأمور الدينية، وهي طاعة الله ومتابعة رسوله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا
قال تعالى بعد النهي عن الغيبة واحتقار بعض الناس بعضًا، منبها على تساويهم في
البشرية: { يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا } أي: ليحصل التعارف بينهم،
كلٌ يرجع إلى قبيلته.
وقال مجاهد في قوله: { لِتَعَارَفُوا } ، كما يقال: فلان بن
فلان من كذا وكذا، أي: من قبيلة كذا وكذا.
وقال سفيان الثوري: كانت حِمْير ينتسبون إلى مُخَاليفها، وكانت
عرب الحجاز ينتسبون إلى قبائلها.
وقد قال (8) أبو عيسى الترمذي: حدثنا أحمد بن محمد، حدثنا عبد
الله بن المبارك، عن عبد
(13) Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT menciptakan
manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan
menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna
kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan
menolong. Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan
dengan keturunan, kepangkatan atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara
manusia di sisi Allah SWT hanyalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada
sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah
SWT, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling taqwa kepada-Nya.
Sesungguhnya Allah SWT Maha Penerima tobat lagi Maha
Mengetahui tentang apa yang tersembunyi dalam jiwa dan pikiran manusia. Pada
akhir hayat, Allah SWT menyatakan mengetahui segala perbuatan mereka.
b.
Al-Qur’an Surah An-Nahl Ayat : 91-92
Artinya :
(91)“Dan tepatilah perjanjian Allah
SWT apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah, sesudah
meneguhkannya. Sedang kamu telah menjadikan Allah SWT sebagai saksi atas diri
kamu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Tafsir
وقد ورد في نزول هذه الآية الكريمة حديث حَسن، رواه الإمام
أحمد:
حدثنا أبو النضر، حدثنا عبد الحميد، حدثنا شهر، حدثني عبد الله
بن عباس قال: بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم بفناء بيته جالس، إذ مر به عثمان
بن مظعون، فكشر (1) إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له رسول الله صلى الله
عليه وسلم: “ألا تجلس؟” فقال: بلى. قال: فجلس رسول الله صلى الله عليه وسلم
مستقبله، فبينما هو يحدثه إذ شَخَص رسول الله صلى الله عليه وسلم ببصره في السماء،
فنظر ساعة إلى [السماء] (2) فأخذ يضع بصره حتى وضعه على يَمْنته في الأرض، فتحرَّف
رسول الله صلى الله عليه وسلم عن جليسه عثمان إلى حيث وضع بصره فأخذ ينغض رأسه
كأنه يستفقه ما يقال له، وابن مظعون ينظر فلما قضى حاجته واستفقه ما يقال له، شخص
بصر رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى السماء كما شخص أول مرة. فأتبعه بصره حتى
توارى في السماء. فأقبل إلى عثمان بجلسته الأولى فقال: يا محمد، فيما كنت أجالسك؟
ما رأيتك تفعل كفعلك الغداة! قال: “وما رأيتني فعلت؟” قال: رأيتك شخص بصرك إلى
السماء ثم وضعته حيث وضعته على يمينك، فتحرفت إليه وتركتني، فأخذت تنغض رأسك كأنك
تستفقه شيئا يقال لك. قال: “وفطنت لذلك؟” فقال عثمان: نعم. قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: “أتاني رسول الله آنفا وأنت جالس”. قال: رسولُ الله؟ قال: “نعم”. قال:
فما قال لك؟ قال: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ
ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ } قال عثمان: فذلك حين استقر الإيمان في قلبي، وأحببت
محمدًا صلى الله عليه وسلم (3) .
إسناد جيد متصل حسن، قد (4) بُيِّن فيه السماع المتصل. ورواه
ابن أبي حاتم، من حديث عبد الحميد بن بَهرام مختصرًا.
حديث آخر: عن عثمان بن أبي العاص الثقفي في ذلك، قال الإمام
أحمد:
حدثنا أسود بن عامر، حدثنا هُرَيْم، عن لَيْث، عن شَهْر بن
حَوْشَب، عن عثمان بن أبي العاص قال: كنت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم جالسا،
إذ شَخَصَ بَصره فقال: “أتاني جبريل، فأمرني أن أضع هذه الآية بهذا الموضع من هذه
السورة: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ [وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ] } (5) (6) .
وهذا إسناد لا بأس به، ولعله عند شهر بن حوشب من الوجهين،
والله أعلم.
Tafsir:
Ayat ini memerintahkan: tepatilah perjanjian yang telah kamu
ikrarkan dengan Allah apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah sesudah kamu meneguhkannya yakni perjanjian-perjanjian yang kamu
akui di hadapan Perusuh Allah. Demikian juga sumpah-sumpah kamu yang menyebut
nama-Nya. Betapa kamu tidak harus menepatinya sedang kamu telah menjadikan
Allah sebagai saksi dan pengawas atas diri kamu terhadap sumpah-sumpah dan
janji-janji itu. Sesungguhnya allah mengetahui apa yang kamu perbuat, baik
niat, ucapan maupun tindakan, dan baik jani, sumpah maupun selainnya, yang
nyata maupun yang rahasia.
Yang dimaksud dengan (تنقصوا) membatalkan adalah melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kandungan sumpah/janji.
Yang dimaksud dengan (بعهدالله) perjanjian Allah dalam
konteks ayat ini antara lain bahkan terutama adalah bai’at yang mereka ikrarkan
di hadapan Nabi Muhammad saw.
Firman-Nya: (بعد توكيدها) ada yang memahaminya dalam arti
sesudah kamu meneguhkannya. Atas dasar itu, sementara yang menganut faham ini –
seperti al-Biqa’i dan al-Qurthubi – memahami kata tersebut sebagai berfungsi
mengecualikan apa yang diistilahkan dengan laghwu al-aiman yakni kalimat yang
mengandung redaksi sumpah tetapi tidak dimaksudkan oleh pengucapnya sebagai
sumpah.
Artinya:
(92)“ Dan janganlah kamu seperti
seorang perempuan yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat
menjadi cerai berai; kamu menjadikan sumpah kamu sebagai penyebab kerusakan di
antara kamu, disebabkan adanya suatu golongan yang lebih banyak dari golongan
yang lain. Sesungguhnya Allah SWT hanya menguji kamu dengannya. Dan pasti di
hari Kiamat nanti akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu
perselisihkan itu.”
Tafsir
Setelah ayat yang lalu memerintahkan menepati janji dan
memenuhi sumpah, ayat ini melarang secara tegas membatalkannya sambil
mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Pengilustrasian ini merupakan salah
satu bentuk penekanan. Memang penegasan tentang perlunya menepati janji
merupakan sendi utama tegaknya masyarakat, karena itulah yang memelihara
kepercayaan berinteraksi dengan anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu
hilang, bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih
kehancuran masyarakat.
Kata (دخلا) dari segi bahasa berarti kerusakan, atau sesuatu
yang buruk. Yang dimaksud di sini adalah alat atau penyebab kerusakan. Ini
karena dengan bersumpah seseorang menanamkan keyakinan dan ketenangan di hati
mitranya, tetapi begitu dia mengingkari sumpahnya, maka hubungan mereka menjadi
rusak, tidak lain penyebabnya kecuali sumpah itu yang kini telah diingkari.
Dengan demikian, sumpah menjadi alat atau sebab kerusakan hubungan.
Kata (أربى) terambil dari kata (الربو) yaitu tinggi atau
berlebih. Dari akar yang sama lahir kata riba yang berarti kelebihan. Kelebihan
dimaksud bisa saja dalam arti kuantitas, sehingga bermakna lebih banyak
bilangannya, atau kualitasnya yakni lebih tingg kualitas hidupnya dengan harta
yang melimpah dan kedudukan yang terhormat.
Ayat di atas menyebut kata (أمة) atau golongan sebanyak dua
kali. Banyak pakar tafsir memahami ayat ini berbiacara tentang kelakuan
beberapa suku pada masa Jahiliyah.
3. Kandungan Pendidikan dalam Pembinaan
Masyarakat.
Pemahaman terhadap konsep masyarakat
yang ideal amat diperlukan dalam rangka mengembangkan konsep pendidikan.
Berkenaan dengan ini paling tidak terdapat empat hal yang menggambarkan
hubungan konsep masyarakat dengan pendidikan, antara lain :
- Bahwa
gambaran masyarakat yang ideal harus dijadikan salah satu pertimbangan
dalam merancang visi, misi dan tujuan pendidikan
- Gambaran
masyarakat yang ideal juga harus dijadikan landasan bagi pengembangan
pendidikan yang berbasis masyarakat
- Perkembangan
dan kemajuan yang terjadi di masyarakat juga harus dipertimbangkan dalam
merumuskan tujuan pendidikan
- Perkembangan
dan kemajuan yang terjadi di masyarakat harus dijadikan landasan bagi
perumusan kurikulum
E.
Tafsir Tematik
Yang Membahas Tentang Seni Budaya Dan Olahraga
1.
Ta`rifat
Seni
ialah: Penciptaan dari segala macam hal atau benda yang karena keindahan
bentuknya orang senang melihatnya atau mendengarnya.
Dalam
Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah: Penjelmaan rasa indah yang
terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi
kedalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra pendengar (seni suara),
penglihatan (seni lukis) atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari,
drama)
Seni
adalah: satu kalimat terkait yang menunjukkan makna luas. Seni yang indah
mempunyai beberapa macam ma`na, diantaranya; melukis, menggambar, dan musik.
Ada juga yang berma`na sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia seperti seni
bertanam, berdagang, dongeng, memasak dan pengetahuan. Oleh karena banyaknya
perbedaan tentang makna tersebut maka ia mempunyai satu arti atau satu makna
dasar yaitu (الحذق ) yang berarti : mahir, cakap dan ulet. Atau kemampuan yang
diperoleh seseorang melalui cara pentadaburan dan angan-angan.
Adapun
seni itu mempunyai dua arti : umum dan khusus, umum ialah : mencakup suatu perbuatan
atau tingkah laku manusia yang tersusun dengan rapi dan dimaksudkan pada
tujuan-tujuan tertentu, baik berupa kecakapan, keuletan dan kepandaian. Adapun
makna khusus ialah : setiap perbuatan yang timbul dan ditujukan pada kemunculan
hal-hal yang indah baik berupa ; gambar, suara, gerakan dan perkataan.
2.
Perhatian Islam pada kebutuhan manusia.
Islam
merupakan agama realistis, yang memperhatikan tabiat dan kebutuhan
manusia, baik jasmani, rohani, akal dan perasaannya. Sesuai dengan kebutuhan
dalam batasan-batasan yang seimbang.
Jika
olah raga merupakan kebutuhan jasmani, beribadah sebagai kebutuhan rohani, ilmu
pengetahuan sebagai kebutuhan akal, maka seni merupakan kebutuhan rasa (intuisi
) yaitu : seni yang dapat meningkatkan derajat dan kemulyaan manusia, bukan
seni yang dapat menjerumuskan manusia dalam kehinaan.
3.
Pandangan Al quran pada keindahan alam.
Seni
adalah perasaan dalam menikmati keindahan, dan inilah yang diungkapkan dalam al
quran untuk di perhatiakan dan di renungkan, yaitu merenungkan keindahan
makhluq ciptaan Allah, dan mengambil manfaat yang di kandungnya, seperti Q.S.
an nahl : 5-6, al a’rof : 26.
a. Apresiasi mukmin terhadap keindahan
alam.
Jika
kita mentadaburi ayat-ayat al quran akan terlihat jelas bahwa al quran ingin
menggugah akal dan hati setiap mukmin untuk menyelami keindahan alam semesta,
di angkasa, dasar samudra dan seisinya, bumi, langit, flora, fauna dan manusia.
b. Al quran mukjizat yang indah.
Al
quran adalah bukti yang agung dalam Islam, dan mukjizat terbesar bagi Rasulullah
Salallahu alaihi wasallam, dengan kata lain mukjizat yang sangat indah, di
samping sebagia mukjizat yang rasional, al quran telah melemahkan kesombongan
bangsa arab dengan kindahan ungkapannya, sya’ir dan uslub katanya, serta
menpunyai lirik dan lagu tersendiri, sehingga sebagian mereka menganggapnya
sihir.
Ulama’
balaghoh dan sastrawan arab menerangkan sisi kemukjizatan ungkapannya atau
keindahan kitab ini sejak Abdul Qohir sampai Ar Rofa’ie, Sayyid Qutb dan
sastrawan zaman ini.
Salah
satu anjuran dalam mengumandangkan al quran adalah mengkolaborasikan kemerduan
suara memperindah bacaan dan intonasi.
ورتل
القرآن ترتيلا – المزمل : 4
”Dan
bacalah Al quran itu dengan perlahan-lahan “
Rasulullah
Salallahu alaihi wasallam bersabda : Hiasilah al quran dengan suaramu
Pada
hadist lain beliau mengungkapkan ” Sesengguhnya suara yang baik menambah al
quran itu baik.
Sabdanya
yang lain ” Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan al quran.
Setelah sebelumnya telah dipaparkan perhatian
Islam pada keindahan, serta menganjurkan untuk mengembangkan instuisi sehingga
manusia dapat merasakan dan menikmatinya, keindahan dapat dirasakan oleh
pendengaran, penglihatan dan indra yang lain.
Disini
kita akan membahas beberapa contoh seni keindahan yang bisa dirasakan manusia
khususnya pada pendengaran dan indra yang lain. Oleh karena sangat luasnya
pembahasan masalah ini sesuai dengan perkembangan pada zaman modern ini, maka
kami membatasi pada hal yang mempunyai posisi cukup setrategis di mata
masyarakat kita yaitu seni musik, suara ( nyanyian dan lagu ). Sesuai dengan
pemahaman salafus sholeh ummat ini dengan bersandar pada Al quran dan As
sunnah.
F.
Tafsir Tematik
Yang Membahas Tentang Pembinaan Generasi Remaja
Membangun kesadaran bagi generasi
bukanlah hal yang gampang untuk tercapai secara maksimal, tetapi dalam
pembinaan kesadaran yang menjadi hal pokok untuk dibangun. Kesadaran hendaknya
disertai niat untuk mengintensifkan pemilikan nilai-nilai dari pada yang sudah
dimiliki, sebab dengan cara tersebut akan mampu mewujudkan pemeliharaan yang
dinamis dan berkesinambungan.
Dalam hal ini pembinaan dimaksudkan
adalah pembinaan keagamaan (akhlak) yang mempunyai sasaran pada generasi muda, maka
tentu aspek yang ingin dicapai dalam hal ini adalah sasaran kejiwaan setiap
individu, sehingga boleh dikatakan bahwa pencapaiannya adalah memiliki ciri
khas dan keunikan tersendiri. Keunikan dimaksudkan tidak karena ditentukan
prototipitas tema pembahasannya, melainkan disebabkan karena sasaran yang
diambil merupakan suatu pengelompokkan demografis yang gencar-gencarnya
mengalami perubahan dan perkembangan psikologi kejiwaan anak.
Dalam masa ini jatidiri dan sikap
arogan masih sangat kuat untuk diperpegangi bagi generasi muda, sehingga
memerlukan kehati-hatian yang ekstra ketat. Sehingga mampu menanamkan
nilai-nilai dan konsep pembinaan, khususnya dalam hal pembinaan akhlak melalui
ajaran tasawuf dalam merubah perilaku generasi muda dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perkembangan psikologi remaja
dikatakan bahwa perkembangan psikologi remaja sedikit mempunyai pengaruh
terhadap cara-cara penanaman dan pemahaman nilai akhlak. Hal ini diungkapkan
oleh ahli psikologi remaja bahwa pada satu pihak remaja tidak begitu saja mampu
menerima konsep-konsep, nilai-nilai suatu ajaran, apalagi ajaran yang membatasi
diri seseorang, tetapi terkadang dipertentangkan dengan citra diri dan
struktur kognitif yang dimilikinya.
Pembinaan yang bercorak keagamaan
atau keislaman akan selalu bertumpu pada dua aspek, yaitu aspek spiritualnya
dan aspek materialnya. Aspek spiritual ditekankan pada pembentukan kondisi
batiniah yang mampu mewujudkan suatu ketentraman dan kedamaian di
dalamnya. Dan dari sinilah memunculkan kesadaran untuk mencari
nilai-nilai yang mulia dan bermartabat yang harus dimilikinya sebagai bekal
hidup dan harus mampu dilakukan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-harinya
saat ini untuk menyongsong kehidupan kelak, kesadaran diri dari seorang remaja
sangat dibutuhkan untuk mampu menangkap dan menerima nilai-nilai
spiritual tersebut, tanpa adanya paksaan dan intervensi dari luar dirinya.
Sedangkan pada pencapaian aspek
materialnya ditekankan pada kegiatan kongkrit yaitu berupa pengarah diri
melalui kegiatan yang bermanfaat, seperti organisasi, olahraga, sanggar
seni dan lain-lainnya. Kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dimaksudkan agar mampu
berjiwa besar dalam membangun diri dari dalam batinnya, sehingga dengan
kegiatan tersebut, maka tentu dia akan mampu memiliki semangat dan kepekatan
yang tinggi dalam kehidupannya.
Penanaman semangat kepahlawanan
memberikan nilai positif bagi generasi muda, sebab tentu akan membangun
semangat dan menumbuhkan jiwa kepahlawanan, baik terhadap negara, agama
maupun bangsa.Membangun jiwa kepahlawanan ke dalam diri generasi muda adalah
salah satu unsur dalam melakukan pembinaan, dan pembinaan dapat terarah
dan konstruktif. Sehingga perlu suatu kesadaran moral bahwa generasi muda
adalah yang selalu mengambil peran dalam setiap langkah yang bermanfaat
bagi bangsa dan agama, pada dasarnya mereka akan mengambil peranan
dan terpanggil untuk berbakti sebagai suatu tuntutan, baik tuntutan itu
datang sebagai generasi bangsa maupun sebagai generasi agama.
1.
Surat An-Nisa Ayat 9 dan 95
Surat An-Nisa Ayat 9
Tafsirnya
Allah
memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya
mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah
terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu
selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalulah berkata lemah
lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka.
Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.
Maksudnya,
anak-anak yang masih kecil-kecil (mereka khawatir terhadap nasib mereka) akan
terlantar (maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah) mengenai urusan
anak-anak yatim itu dan hendaklah mereka lakukan terhadap anak-anak yatim itu
apa yang mereka ingini dilakukan orang terhadap anak-anak mereka sepeninggal
mereka nanti (dan hendaklah mereka ucapkan) kepada orang yang hendak meninggal
(perkataan yang benar) misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga
dan memberikan selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka
dalam keadaan sengsara dan menderita.
2.
Surat An-Nisa Ayat 95
Tafsirnya
Diriwayatkan,
bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan beberapa orang yang tidak mau
turut berperang bersama Rasulullah saw pada peperangan Badar. Mereka itu adalah
Ka'ab Ibnu Malik dari Bani Salamah, Mararah Ibnur Rabi' dari Bani `Amr bin
'Auf, dan Ar Rabi serta Hilal ibnu Umayyah dari Bani Waqif. Sudah jelas, bahwa
orang-orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh
keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang-orang yang enggan
berbuat demikian. Akan tetapi ayat ml mengemukakan hal tersebut adalah untuk
menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian
besarnya. sehingga orang-orang yang berjihad itu pada derajat yang amal tinggi.
Apabila
orang-orang yang tidak berjihad itu menyadari kerugian mereka dalam hal ini,
maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang
tinggi itu, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya.
Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan itu. Dengan
demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang
dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat
antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dun orang- orang yang tidak
berilmu.
3.
Surat At-Tahrim Ayat 6
Asbabun
Nuzulnya
Ibnu
katsir setelah menulis ayat At-Tahrim beliau juga menukil pendapat yang
mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas
dirinya Maria Al-Qibtiah tapi kemudian beliau menguatkan pendapat yang
mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas
dirinya madu.Kemudian Syaikh Utsaimin menguatkan pendapat yang mengatakan sebab
turunnya ayat ini adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan atas
dirinya madu.
Tafsinya
Mengenai
firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu
suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan :
“Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa
kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau
menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka
kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan
perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam
menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah,
peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian
itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana
mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk
kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan
Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Dalam
ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari
api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan
patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya
taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api
neraka.
Di
antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan
bersabar, sebagaimana firman Allah SWT. Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132).
dan dijelaskan pula dengan firman-Nya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
dan dijelaskan pula dengan firman-Nya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
4. Surat At-Tagabun Ayat 14-15
Asbabun
Nuzulnya
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ......
turun
berkenaan dengan beberapa orang penduduk mekah yang masuk islam, akan tetapi
istri dan ank-anaknya menolak hijrah ataupun ditinggal hijrah ke Madinah. Lama
kelamaan mereka pun hijrah juga. Sesampainya di Madinah, mereka melihat
kawan-kawannya telah banyak mendapat pelajaran dari nabi Saw. Karenanya mereka
bermaksud menyiksa istri dan anak-anaknya yang menjadi penghalang unutk
berhijrah. Maka turunlah ayat selanjutnya :
....وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Dalam
riwayat lain, ayat di atas turun berkenaan dengan ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i
yang mempunyai anak istri yang selalu menangisinya apbila akan pergi berperang
, bahkan menghjalanginya dengan berkata : “Kepada siapa engkau akan menitipkan
kami?” ia pun merasa kasihan kepada mereka hingga tidak jadi berangkat perang.
Ayat
di atas berbicara tentang kehidupan suatu keluarga, di mana pada keluarga
tersebut kadang-kadang ada istri yang menjadi musuh bagi keluarga tersebut dan
bahkan dari anak-anak mereka pun kadang kala ada yang menjadi musuh baginya.
Benar-benar disengaja atau tidak kadang-kadang ada dari mereka yang menjadi
musuh, sekurang-kurangnya menjadi musuh yang akan menghambat cita-cita. Sebab
itu di suruhlah orang yang beriman berhati-hati terhadap istri dan
anak-anaknya, jangan sampai mereka itu mepengaruhi iman dan keyakinan. Tetapi
jangan langsung mengambil sikap keras terhadap mereka. Bimbinglah mereka
baik-baik. “: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (ujung
ayat 14).
Tafsirnya
a. Di pangkal ayat diterangkan dengan
memakai min (من) ,
yang berarti “daripada”, artinya setengah daripada, tegasnya bukanlah
semua istri atau semua anak menjadi musuh hanya kadang-kadang atau pernah ada.
Hasil dari sikap mereka telah merupakan suatu musuh yang cita-cita seorang
mu’min sebagai suami atau sebagai ayah.
b. Kata عَدُوًّا berarti يعادونكم و
يشغلونكم عن الخير yaitu
memalingkan dan menyibukkan kita sehingga jauh dari kebaikan.
Sebagian pasangan dan anak merupakan musuh dapat dipahami dalam arti
musuh yang sebenarnya, yang menaruh kebencian dan ingin memisahkan diri dari ikatan
perkawinan. Ini bisa saja terjadi kapan dan di mana pun. Dan bisa juga
permusuhan dimaksud dalam pengertian majazi, yakni bagaikan musuh. Ini karena
dampak dari tuntunan dari mereka yang menjerumuskan pasangannya dalam kesulitan
bahkan bahaya, layaknya perlakuan musuh terhadap musuhnya.
Secara
korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi
dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah,
maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah
setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah
yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada
ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik
menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(At-Taghabun: 14)
5. Surat Al-A’raf Ayat 199
Tafsirnya
Menurut
Fahruddin Muhammad Al-Razy ayat ini mengandung makna yang tinggi tentang
makarimal akhlak karena di dalamnya terdapat ajaran tentang meninggalkan sikap
yang memberatkan baik yang bersifat maliyah maupun sikap yang baik antar sesama
manusia. Al-Razy mengutip pendapat Ja’far Shodiq, “Tidak ada ayat al-Qur’an
tentang makarimal akhlak yang lebih luas dari ayat ini”. Dengan demikian dapat
digambarkan bahwa ayat ini termasuk ayat yang mengkhususkan mengejarkan umat
islam tentang nilai-nilai akhlak.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Tafsir Tematik yaitu suatu metode penafsiran Alquran
dimana para mufassir berupay mengumpulkan ayat-ayat Alquran dari berbagai surat
yang memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah kepada suatu pengertian dan
tujuan yang sama pula.
2.
Pada surah ar-Rahman ayat 1-4
ditegaskan disini bahwa yang menjadi subjek pendidikan adalah seorang manusia
yang merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna karena diberikan
olehnya sesuatu yang tidak ia berikan kepada makhluk ciptaannya yang lain yakni
akal yang mengangkat derajat manusia sehingga manusialah yang berhak menjadi
subjek pendidikan baik bagi sesama ataupun bagi makhluk ciptaan Allah yang
lainnya.
3.
Allah menggariskan takdirnya atas bumi,
pertama kalinya dengan memberikan segala fasilitas terbaik bagi semua penghuni
bumi. Diciptakanlah lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya.
Air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa masa keringnya. Belum cukup
dengan itu semua, Allah memperindah polesan kehidupan di muka bumi dengan
menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup
manusia.
4.
Masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki
keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud
dan tujuan bersama. Selanjutnya dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an,
masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama,
waktu, tempat baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri.
5.
Jika olah raga merupakan kebutuhan jasmani, beribadah
sebagai kebutuhan rohani, ilmu pengetahuan sebagai kebutuhan akal, maka seni
merupakan kebutuhan rasa (intuisi ) yaitu : seni yang dapat meningkatkan
derajat dan kemulyaan manusia, bukan seni yang dapat menjerumuskan manusia
dalam kehinaan.
6.
Membangun kesadaran bagi generasi bukanlah hal yang gampang
untuk tercapai secara maksimal, tetapi dalam pembinaan kesadaran yang menjadi
hal pokok untuk dibangun. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk
mengintensifkan pemilikan nilai-nilai dari pada yang sudah dimiliki, sebab
dengan cara tersebut akan mampu mewujudkan pemeliharaan yang dinamis dan
berkesinambungan.
B.
SARAN
Dalam makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna untuk itu kami minta sumbangsih saran dan
kritiknya untuk perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur‘an, terj. Pustaka
Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 127, 133, 149.
Al-Aridh,Ali Hasan. Sejarah
metodologi Tafsir. Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada, 1994.
Al-Farmawiy,Abdul
Al-Hayy. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mau«’i. Kairo : al-¦a«oroh
al-‘Arabiyah, 1977.
Al-Ma’i,Zahir bin Awadh Dirasat
fi al- Tafs³r al-Mau«’I, 1997.
Al-Qattan,Manna Khalil. Mab±his
fi ‘Ulmil Quran. Raiyadh : D±r al-Ma’arif, 1973.
Al-Sadr, Muhammad Baqir. Tafsir
Mau«’i wa Tafsir Al-Tajzi’i pi Al-Quran Al-Karim. Beirut : Ta’aruf al-Matb’at,
1980.
Badr al-Dîn Muh}ammad al-Zarkashî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân
(Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988), 1:61-72.
David S. Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa
mansûkhuhu,” dalam Andrew Rippin, Approach to the History of the
Interpretation of the Qur’an (Oxford: Clarendon Press, 1988), hlm. 120.
Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Metode
Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. Oleh Suryan A. Jamrah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 1996).
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, cet. Ke xix
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 71.
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas
Pelbagai Persoalan Ummat. (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 112.
Munawwir,Ahmad Warson. Kamus
Al-Munawwar. Yogyakarta, 1984.
T. M. Hasi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok
dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Djakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 204 dan
224; Mohammad Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi al-Qur’an [At-Tibyan],
terj. Moch Shudlori Umar dan Moh. Matsna (Bandung: P.T. Al-Ma‘arif, 1970), 205,
210, 234.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar