Sabtu, 07 April 2018

MAKALAH TAFSIR TEMATIK


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Berbicara tentang tafsir maudhu’i karena banyaknya metode tafsir dalam menafsiri alqur’an, untuk mencari maksud atau makna yang terkandung dalam al qur’an yang sangat dalam maka para mufassir dengan berbagai ilmu yang dia miliki terus menggali beberapa tafsir al qur’an Metode yang digunakan meliputi berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisik pun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Metode tafsir Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus diperhatikan ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Maka, apabila seseorang menafsirkan ayat Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan keliru dalam penafsirannya. latar belakang kehidupan dan pendidikan atau karena perbedaan intensitas dan ekstensitas wawasan mufassir. Namum dapat kita prediksi betapa hal-hal yang kontradiktif dan perbedaan pendapat tadi merupakan sumber penyakit dan merupakan pangkal kehancuran bagi umat Ialam.
Oleh karena itu, kita perlu memiliki atau memilih metode penafsiran  yang dapat dipandang memuaskan, tanpa memastikan bahwa hasil penafsiran itu adalah benar-benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah swt. Yang jelas untuk mengambil hasil penafsiran seorang mufassir tidaklah bijaksana kalau diterima begitu saja atau disalahkan/dikritik begitu saja, tanpa mengetahui dan meneliti metode tafsir yang digunakan oleh mufassir. Pada akhir-akhir ini muncul berbagai metode tafsir ke permukaan yang pada hakekatnya semua metode tersebut sebagai upaya mengungkap maksud­-maksud Alquran dalam menjawab permasalahan umat. Salah satu metode tafsir yang paling populer akhir-akhir ini ialah metode tafsir maudhu’i (tematik). Dengan penggunaan metode ini diharapkan dapat merupakan sebuah jawaban Alquran terhadap berbagai masalah yang timbul atau paling tidak menambah perbendaharaan dalam ulumul quran. Dikatakan dapat menjawab permasalahan umat, karena prosedur kerja metode ini adalah mengambil berbagai ayat-ayat yang representatif dari seluruh Alquran yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. kemudian mufassir melengkapi dirinya dengan berbagai macam ilmu tafsir, menghubungkan masalah dengan interdiaipliner atau multidiaipliner, dan ditarik kembali kepada Al­qur’an, serta pada akhimya menemukan sebuah jawaban Alquran terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Dalam kerangka memahami Alquran upaya yang dilakukan adalah melalui penafsiran-penafiran. Dengan cara ini diharapkan segala kandungan makna Alquran yang masih terselubung dalam teks (lafa§) dapat terbuka sehingga menjadi sesuatu yang jelas. Bila ditinjau dari sudut pandang sejarah penafsiran Alquran tentunya beraneka ragam metode serta bentuk dalam penafsirannya. Para ulama telah membagi metode penafsiran Alquran kepada empat metode, yaitu : metode tahlili (analitik), metode ijmal³ (umum), metode muqar³n (komparasi), dan metode Maudu’i (tematik)
Tafsir Tematik yaitu : suatu metode Tafsir yang berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surat dan yang berkaiatan pula dengan persoalan atau tema yang ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan mengnalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh.[6] Dari berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Tafsir Tematik yaitu suatu metode penafsiran Alquran dimana para mufassir berupay mengumpulkan ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah kepada suatu pengertian dan tujuan yang sama pula.
Maka dalam Makalah yang sederhana ini penulis mencoba untuk membuat makalah  Tafsir tematik yang membahas tentang pendidikan, lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat,seni budaya dan olahraga, pembinaan remaja /generasi.


B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan tafsir tematik?
2.      Bagaimanakah tafsir tematik yang membahas tentang pendidikan?
3.      Bagaimanakah tafsir tematik yang membahas tentang lingkungan hidup?
4.      Bagaimanakah tafsir tematik yang membahas tentang pemberdayaan masyarakat?
5.      Bagaimanakah tafsir tematik yang membahas tentang seni budaya dan olahraga?
6.      Bagaimanakah tafsir tematik yang membahas tentang pembinaan generasi remaja?

C.    TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan dari makalah ini untuk mengetahui:
1.      Pengertian  tafsir tematik
2.      Tafsir tematik yang membahas tentang pendidikan
3.      Tafsir tematik yang membahas tentang lingkungan hidup
4.      Tafsir tematik yang membahas tentang pemberdayaan masyarakat
5.      Tafsir tematik yang membahas tentang seni budaya dan olahraga
6.      Tafsir tematik yang membahas tentang pembinaan generasi remaja

D.    MANFAAT PENULISAN
1.      Untuk menambah pengetahuan tentang Tafsi tematik yang membahas tentang tentang pendidikan, lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat,seni budaya dan olahraga, pembinaan remaja /generasi.
2.      Sebagai acuan untuk memperoleh wawasan yang luas tentang tafsir tematik
3.      Sebagai bahan referensi untuk mendapatkan informasi tentang Tafsir Tematik dalam mengembangkan pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Tematik
Banyak pengertian yang dapat diberikan terhadap tafsir tematik. secara etimologi maudhu`i berarti tema atau pembicaraan.[2] Menurut Ali Hasan Al-Aridh, Tafsir Tematik adalah suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat Alquran ynag berbicara tentang suatu pokok pembicaraan atau tema (maudhu`i) yang mengarah kepada satu pengertian atau tujuan.[3] Al-Farmawi juga memberikan pengertian tentang terhadap Tafsir Tematik yaitu suatu metode menghimpun ayat-ayat Alquran yang memiliki kesamaan tema dan arah serta menyusunnya berdasarkan turunnya ayat-ayat tersebut, kemudian merangkainya dengan keterangan-keterangan serta mengambil suatu kesimpulan.[4] Sedangkan menurut Zahir bin Awadh, Tafsir Maudu­’i yaitu : suatu metode pengeumpulan ayat-ayat Alquran yang terpisah-pisah dari berbagai surat dalam Alquran yang berhubungan dengan opik (tema) yang sama baik secara lafa§ Maupun Hukum, dan menafsirkannya sesuai dengan tujuan-tujuan Alquran.[5]
Sementara itu Baqir Al-Sadr memberikan pengertian, bahwa Tafsir Tematik yaitu : suatu metode Tafsir yang berupaya menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surat dan yang berkaiatan pule dengan persoalan atau tema yang ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan mengnalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh.[6] Dari berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Tafsir Tematik yaitu suatu metode penafsiran Alquran dimana para mufassir berupay mengumpulkan ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah kepada suatu pengertian dan tujuan yang sama pula.
Tafsir Al-Maudhu’i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-Qur’an al-Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kasatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya  menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsur serta menghubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komfrehensif.
Metode maudhu’i dapat dikelompokkan kepada dua macam; berdasarkan surat al-Qur’an dan berdasarkan tema pembicaraan al-Qur’an. Tafsir yang menempuh metode maudhu’i cara pertama yang berangkat dari anggapan bahwa setiap surat al-Qur’an memiliki satu kesatuan yang utuh. Tafsir al-Qur’an yang menempuh metode maudhu’i cara kedua dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap satu- persatu masalah yang disinggung oleh al-Qur’an dalam berbagai ayat-ayatnya.
Metode ini adalah metode tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara tematik dengan membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, penafsir yang menggunakan metode ini akan meneliti ayat-ayat al-Qur’an dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan  sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala krtik.
Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat masih umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlak digandengkan denga yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.
Tafsir tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas sehingga diproleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan; baik bagi mufassir sendiri, maupun bagi pembaca dan pendengar bahkan oleh umat secara keseluruhan. Karena tujuannya untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami oleh umat itu, maka diabad modern ini para ulama lebih gandrung menggunakan metode tematik dari pada metode-metode yang lain.
Metode maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur belum lama lahir. Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Al-Jalil Ahmad As-Sa’id Al-Kumi, ketua jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar. Langkah-langkahnya kemudian diikuti oleh teman-temannya dan mahasiswa-mahasiswanya.
Dua langkah pokok dalam proses penafsiran yang dikemukakan oleh Farmawi dalam penafsiran secara maudhu’i.
1.      Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu maudhu’ tertentu dengan memperhatikan masa dan sebab turunnya.
2.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan.

B.     Tafsir Tematik Yang Membahas Tentang Pendidikan
Penjelasan Al-Qur’an, surat al-Rahman ayat 1-4

الرَّحْمَنُ (١) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (٢) خَلَقَ الإنْسَانَ (٣) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (٤)
1. (tuhan) yang Maha pemurah,
2. yang telah mengajarkan Al Quran.
3. Dia menciptakan manusia.
4. mengajarnya pandai berbicara.
Pada surah ar-Rahman ayat 1-4 ditegaskan disini bahwa yang menjadi subjek pendidikan adalah seorang manusia yang merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna karena diberikan olehnya sesuatu yang tidak ia berikan kepada makhluk ciptaannya yang lain yakni akal yang mengangkat derajat manusia sehingga manusialah yang berhak menjadi subjek pendidikan baik bagi sesama ataupun bagi makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
Ayat 1-2, Allah yang Maha Pengasih, baik di dunia, akhirat ataupun keduanya yang Rahmatnya meliputi segala sesuatu. Allah SWT mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia sehingga Dia memudahkan Al-Qur’an untuk dihafal, dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ar Rahman dalam surat ini dapat diartikan sebagai seruan awal agar semua memperhatikan tentang informasi, yaitu informasi mengenai berbagai macam nikmat dari ar Rahman.
Nikmat pertama ialah “Yang telah mengajarkan Al-Qur’an”. Dengan demikian maka jelaslah tujuan Allah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia yakni agar manusia yang juga sebagai penghuni alam semesta dapat peka dan paham terhadap segala sesuatu yang ada dalam Al-Qur’an.
Ayat 3-4, Allah menciptakan pada diri manusia tenaga untuk menjelaskan apa yang terkandung dalam pemikirannya dengan bahasa yang dapat dipahami. Manusia tidak dapat hidup sendirian, mereka memerlukan orang lain. Oleh karena itu mereka memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi dan alat untuk memelihara ilmu yang diterimanya dari orang-orang sebelumnya untuk disampaikan kepada orang sesudahnya.
Dalam surat al-Rahman ayat 1-4 pada awal surat menggunakan kata ar-Rahman (الرَّحمن) yang bertujuan untuk mengundang rasa ingin tahu kaum musyrikin Mekkah pada waktu itu, dengan harapan mereka akan tergugah untuk mengakui nikmat Allah dan beriman kepada Allah.
Selain itu, ayat-ayat ini juga turun sebagai bantahan bagi penduduk mekah yang terdapat dalam Surat an Nahl ayat 103 yang mengatakan bahwa Al Qur’an diajarkan oleh Manusia biasa terhadap Nabi Muhammad. Sehingga pada ayat ini Allah menunjukan dan menyatakan bahwa Allah lah yang telah mengajarkan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw melalui Malaikat Jibril yang selanjutnya akan diajarkan kepada umatnya.
Selain ayat ini, ada juga ayat lain yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad itu bukan diajar atau dididik oleh manusia biasa melainkan dididik oleh Allah melalui malaikat Jibril yakni Surat an Najm ayat 5 dan 6, yang penjelasannya akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Dalam surat ar Rahman juga terdapat kata (عَلّمَ) yang mashdarnya (تَعْلِيْمُ) mempunyai arti proses transportasi ilmu. Ini menunjukan kenyataan bahwa memang benar Al Qur’an itu diturunkan kepada Nabi muhammad secara berangsur-angsur dan pengajaran Al Qur’an kepada manusia itu memang secara bertahap sehingga Al Qur’an bisa dipahami oleh manusia.
Di ayat selanjutnya terdapat kata al insan (الانسن) kata ini memiliki makna seluruh manusia bukan hanya nabi Muhammad saja. Dalam penciptaan manusia terdapat pula penciptaan alat-alat tubuh yang digunakan untuk berkomunikasi seperti lidah, bibir, tenggorokan, dan paru-paru. Semua organ inilah yang nantinya akan terlibat dalam proses menghasilkan sebuah suara. Sehingga semua proses penghasilan suara ini dapat dimasukan kedalam pengajaran al Bayan.
Kata (البيان) al bayan pada mulanya berarti jelas. Kata tersebut dipahami oleh Thabathaba’i dalam arti “potensi mengungkap” yakni kalam atau ucapan yang dengannya dapat terungkap apa yang ada dalam benak. Lebih lanjut, ulama’ ini mengatakan bahwa kalam bukan sekedar mewujudkan suara, dengan menggunakan rongga dada, tali suara, dan kerongkongan. Bukan juga hanya dalam keanekaragaman suara yang keluar dari kerongkongan akibat perbedaan makharij al-huruf atau tempat-tempat keluarnya huruf  dari mulut. Tetapi juga bahwa Allah Swt menjadikan manusia dengan mengilhaminya, yakni mampu memahami makna suara yang keluar itu.
Lain halnya dengan Thabathaba’i, Ibnu al Qayyim lebih menspesifikan al bayan ke dalam tiga tingkatan yang masing-masing didefinisikan dengan bayan :
  1. Bayan pertama adalah pandai berfikir yakni dapat memilah-milah informasi, bayan pertama ini untuk hati.
  2. Bayan kedua adalah pandai berbicara yakni mampu mengungkapkan informasi dan menerjemahkanya untuk orang lain, bayan kedua ini untuk telinga.
3.      Bayan ketiga adalah pandai menulis, yakni dapat menuliskan kata-kata sehingga orang yang melihat dapat mengerti maknanya seperti orang yang mendengar, bayan ini untuk mata.
Dengan demikian jelas bahwa manusia itu pada dasarnya sudah diajari atau dianugrahi oleh Allah Swt dua buah kemampuan. Pertama, kemampuan untuk mengajarkan sesuatu kepada orang lain, walaupun pengajaran yang dilakukan manusia itu sifatnya terbatas. Kedua, kemampuan untuk menyerap pengajaran dari orang lain. Jika dihubungkan ke dalam hal Pendidikan, maka kedua kemampuan inilah yang akan menjadi kunci bagi sesuatu agar bisa disebut dengan pelaku pendidikan atau yang biasa disebut dengan Subyek pendidikan.
Penjelasan Al-Qur’an, surat al-Nahl ayat 43-44
(43) Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
(44) Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.(Q.S al-Nahl ayat 43-44)
Ayat 43, Allah menyatakan bahwa Dia tidak mengutus seorang rosul pun sebelum nabi Muhammad kecuali manusia yang diberi-Nya wahyu. Ayat ini menggambarkan bahwa rosul-rosul yang diutus itu hanyalah laki-laki dari keturunan Adam sampai nabi Muhammad saw yang bertugas membimbing umatnya agar mereka beragama tauhid dan mengikuti bimbingan wahyu. Oleh karena itu yang pantas diutus untuk melakukan tugas itu adalah rosul-rosul dari jenis mereka dan berbahasa mereka.
Dalam ayat ini juga, Allah swt meminta orang-orang musyrik agar bertanya kepada orang-orang ahli kitab apakah didalam kitab mereka terdapat keterangan bahwa Allah pernah mengutus malaikat kepada mereka. Kalau memang disebutkan didalam kitab mereka bahwa Allah pernah menurunkan malaikat sebagai utusan Allah, mereka boleh mengingkari kerosulan Muhammad. Tetapi, apabila disebutkan dalam kitab mereka bahwa Allah hanya mengirim utusan seorang manusia yang sejenis dengan mereka , maka sikap mereka mengingkari kerosulan Muhammad saw itu tidak benar.
Ayat 44, Allah menjelaskan bahwa para rosul diutus dengan membawa bukti-bukti tentang kebenaran mereka, yaitu berupa mukjizat-mukjizat. Allah juga menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad supaya beliau menjelaskan kepada manusia mengenai ajaran, perintah, larangan, dan aturan hidup yang harus mereka perhatikan dan mereka amalkan. Al-Qur’an juga mengandung kisah-kisah umat terdahulu agar dijadikan suri tauladan dalam menempuh hidup di dunia.
Telah diketahui sebelumnya bahwa kaum musyrikin selalu melakukan penolakan menyangkut kerasulan Nabi Muhammad. Dalam penolakan itu mereka selalu berkata manusia tidak wajar menjadi utusan Allah. Mereka menginginkan bahwa yang diutus itu haruslah Malaikat. Kemudian ayat ini turun dan menegaskan tentang jawaban dari penolakan itu. Selain memberikan jawaban mengenai penolakan kaum musyrikin, ayat-ayat ini juga dapat dipahami sebagai perintah Allah untuk mereka yang tidak mengetahui agar bertanya kepada yang tahu. Adapun orang yang berpengetahuan itu disebut (اهل الذكر) ahluz-zikri.
Dalam hal ini ahluz-zikri yang dimaksud adalah ahli kitab. Kaum musyrikin diperintakan untuk bertanya kepada para ahli kitab sebab mereka lah yang dianggap tahu mengenai isi dari kitab-kitab terdahulu. Walaupun ayat ini dirujukan kepada Ulama yahudi dan nasrani, tetapi cakupan ayat ini juga bisa berarti lebih umum lagi, yakni bagi mereka yang kurang memahami suatu hal  perlu bertanya kepada ahlinya, termasuk diantaranya Ulama Islam.
Sejatinya yang diperintahkan untuk berfikir serius atau mendetail mengenai isi dan kandungan Al Qur’an bukan hanya Nabi Muhammad seorang, tetapi seluruh manusia. Sebab Al Qur’an itu merupakan hidayah dari Allah yang fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengelola hidupnya di dunia secara baik, dan merupakan rahmat untuk seluruh alam semesta.
Dari berbagai penjelasan diatas jika dihubungkan dengan pendidikan, maka akan muncul 2 hal penting. Pertama, Mengenai Gambaran seperti apa seharusnya pelaku pendidikan atau yang sering disebut dengan Subyek pendidikan itu, dan yang Kedua, Mengenai bahan ajar atau sesuatu yang akan diajarkan dan diterima oleh para pelaku pendidikan tersebut.

Penjelasan Al-Qur’an, surat al-Najm ayat 5-6
عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلْقُوَىٰ
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (An-Najm 53:5)
«علمه» إياه ملك «شديد القوى».
(Yang diajarkan kepadanya) oleh malaikat (yang sangat kuat). (Tafsir Al-Jalalain, An-Najm 53:5)

Ayat 6

ذُو مِرَّةٍ فَٱسْتَوَىٰ
yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. (An-Najm 53:6)
«ذو مرة» قوة وشدة أو منظر حسن، أي جبريل عليه السلام «فاستوى» استقر.
(Yang mempunyai kecerdasan) yang mempunyai kekuatan dan keperkasaan, atau yang mempunyai pandangan yang baik, yang dimaksud adalah malaikat Jibril a.s. (maka menetaplah ia) maksudnya, menampakkan diri dengan rupa aslinya. (Tafsir Al-Jalalain, An-Najm 53:6)
Ayat 5, dalam ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa nabi Muhammad SAW diajari oleh malaikat jibril. malaikat jibril itu sangat kuat, baik ilmunya maupun amalnya.  Dari sinilah jelas bahwa nabi Muhammad itu bukan diajari oleh manusia, tapi beliau diajari oleh malaikat yang sangat kuat.
Ayat 6, Allah SWT menerangkan dalam ayat ini, bahwa malaikat jibril memiliki kekuatan yang luar biasa. Seperti dalam suatu riwayat yang menjelaskan bahwa malaikat jibril pernah membalikkan perkampungan nabi Lut kemudian mereka diangkat ke langit lalu dijatuhkan ke bumi. Ia juga pernah menghembuskan kaum nabi samud hingga berterbangan. Dan apabila ia turun ke bumi hanya dibutuhkan waktu sekejap mata. Ia juga dapat berubah bentuk seperti manusia.
Kata  (  (علّمه‘allamahu/ diajarkan kepadanya bukan berarti wahyu tersebut bersumber dari malaikat jibril. Malaikat menerima wahyu dari Allah dengan tugas menyampaikannya secara baik, dan benar kepada nabi Muhammad saw, dan itulah yang dimaksud dalam pengajaran disini.
Kata (    (مرّةmirrah berarti melilitkantali guna menguatkan sesuatu. Kata ) ذو مرّة) dzu mirrah digunakan untuk menggambarkan kekuatan nalar dan tingginya kemampuan seseorang.
Penjelasan Al-Qur’an, surat al-Kahfi ayat 66
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Ayat ini menyatakan bahwa maksud Nabi Musa as datang kepada al-Khidir, yaitu untuk berguru kepadanya. Nabi Musa as memberi salam kepada al-Khidir seraya berkata, “Saya adalah Musa”. Al-Khidir bertanya kepadanya (Nabi Musa as), “Musa dari Bani Isra’il?”. Musa menjawab, “Ya benar!”. Maka al-Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata, “Apa keperluannmu datang kemari?”. Nabi Musa as menjawab, bahwa beliau datang kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud supaya al-Khidir mau mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang telah Allah ajarkan kepada al-Khidir itu, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang shaleh.
Dalam ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa as sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan, itu berarti Nabi Musa as sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati. Beliau menempatkan diri sebagai orang yang bodoh dan mohon diperkenankan mengikutinya supaya al-Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah berikan kepadanya.

C.    Tafsir Tematik Yang Membahas Tentang Lingkungan Hidup
Pemeliharaan lingkungan hidup merupakan penentu keseimbangan alam. Dalam konteks pelestarian lingkungan, pemahaman ini sudah kita dengar sejak lama. Bahkan, pelajaran ilmu alam seolah tidak henti hentinya mengajarkan bahwa semua komponen ekosistem baik berwujud makhluk hidup maupun komponen alam lainnya, merupakan sebuah kesatuan yang harus berjalan seimbang dan tidak boleh timpang satu dengan yang lain. Namun dalam tataran aplikasinya, manusia harus banyak mengkaji serta mempertanyakan efektivitas hasil dari hal hal tersebut. Dan tentunya setelah semuanya disadari, manusia layak melakukan instrospeksi atas berbagai potret bencana yang terjadi di belahan bumi belakangan ini. Sudah tepatkah mereka dalam melaksanakan amanat sebagai pengendali ekosistem alam? Ataukah kerusakan demi kerusakan menjadi sebuah proses alami yang tidak mungkin terkendali?.
Allah dalam Al-Qur’an memfirmankan tentang dimensi alam semesta dalam beberapa perspektif. Dalam QS. al-Hadid : 4
Artinya : “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat ini Allah memaparkan bahwa secara makro alam semesta terpusat pada dua tempat, langit dan bumi, mungkin karena selama ini akal manusia masih sangat naif untuk mampu menjangkau alam lain selain keduanya. Hanya saja sunatullah dalam wacana alam menentukan situasi di bumi sebagai obyek dominan, selain pembicaraan seputar alam akhirat. Dengan sebab itulah, kalam Al-Qur’an dalam bagian berikutnya mulai mengilustrasikan kondisi bumi dan segala isinya dengan corak dan keberagaman yang ada
Allah menggariskan takdirnya atas bumi, pertama kalinya dengan memberikan segala fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakanlah lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya. Air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa masa keringnya. Belum cukup dengan itu semua, Allah memperindah polesan kehidupan di  muka bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
Setelah selesai dengan segala penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah titipan amanat kepada manusia, dalam QS. al-A’raaf : 56
Artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Setiap amanat semestinya harus dijaga. Setiap titipan tentunya harus disampaikan. Akan tetapi manusia telah merusak dirinya dengan kemaksiatan setelah Allah menancapkan tonggak syariat melalui panji-panji rasulnya. Manusia merusak bumi dan segala isinya setelah sekian banyak nikmat telah Allah berikan kepada mereka. Kerusakan moralitas agama menjadi awal mula sebelum kemudian ambisi duniawi menjadi penentu rusaknya tatanan lingkungan di atas muka bumi ini Allah melarang melakukan segala kerusakan, baik sedikit maupun banyak, setelah melakukan perbaikan, baik sedikit maupun banyak.

D.    Tafsir Tematik Yang Membahas Tentang Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Al-Qur’an Istilah masayarakat dapat dilihat dari adanya berbagai istilah lain yang dapat dihubungkan dengan konsep pembinaan masyarakat, seperti istilah  ummat, qaum, syu’ub, qabail dan lain sebagainya. Istilah ummat dapat dijumpai pada ayat yang berbunyi :
 “ Kamu sekalian adalah ummat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT “. (QS. Ali Imran : 110)
Kata ummah pada ayat tersebut, berasal dari kata amma, yaummu yang berarti jalan dan maksud. Dari asal kata tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan bersama.
Selanjutnya dalam  Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama, waktu, tempat baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri.
1.      Abu Ahmadi dalam bukunya “ilmu sosial dasar” mendefinikan bahwa Masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh satu sama lain.
Kelompok dimana orang yang berada didalamnya terikat oleh tanggung jawab dan oleh identitas bersama. Inti dari pendapat- pendapat tersebut, adalah bahwa masyarakat tempat berkumpulnya manusia yang didalamnya terdapat sistem hubungan, aturan serta pola- pola hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.      Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Pembinaan Masyarakat
a.       Ayat Al-Qur’an Surat Al-Hujurat Ayat : 9-13
Artinya : (9) “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain , maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu. Sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah SWT), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh Allah SWT mencintai orang-orang yang berlaku adil.”


Tafsir
يقول تعالى ذكره: وإن طائفتان من أهل الإيمان اقتتلوا، فأصلحوا أيها المؤمنون بينهما بالدعاء إلى حكم كتاب الله، والرضا بما فيه لهما وعليهما، وذلك هو الإصلاح بينهما بالعدل( فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى ) يقول: فإن أبَت إحدى هاتين الطائفتين الإجابة إلى حكم كتاب الله له، وعليه وتعدّت ما جعل الله عدلا بين خلقه، وأجابت الأخرى منهما( فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي ) يقول: فقاتلوا التي تعتدي، وتأبى الإجابة إلى حكم الله( حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ) يقول: حتى ترجع إلى حكم الله الذي حكم في كتابه بين خلقه
( فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ ) يقول: فإن رجعت الباغية بعد قتالكم إياهم إلى الرضا بحكم الله في كتابه، فأصلحوا بينها وبين الطائفة الأخرى التي قاتلتها بالعدل: يعني بالإنصاف بينهما، وذلك حكم الله في كتابه الذي جعله عدلا بين خلقه.
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد في قوله( وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا )… إلى آخر الآية، قال: هذا أمر من الله أمر به الوُلاة كهيئة ما تكون العصبة بين الناس، وأمرهم أن يصلحوا بينهما، فإن أبوْا قاتل الفئة الباغية، حتى ترجع إلى أمر الله، فإذا رجعت أصلحوا بينهما، وأخبروهم أن المؤمنين إخوة، فأصلحوا بين أخويكم; قال: ولا يقاتل الفئة الباغية إلا الإمام.
(9) Allah SWT menerangkan bahwa jika ada dua golongan orang mukmin berperang, maka harus diusahakan perdamaian antara kedua pihak yang bermusuhan itu dengan jalan berdamai sesuai ketentuan hukum Allah SWT berdasarkan keadilan untuk kemaslahatan mereka yang bersangkutan. Jika setelah diusahakan perdamaian itu masih ada yang membangkang dan tetap juga berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka golongan yang agresif yang berbuat aniaya itu harus diperangi sehingga mereka kembali untuk menerima hukum Allah SWT.
Jika golongan yang membangkang itu telah tunduk dan kembali kepada perintah Allah SWT, maka kedua golongan yang tadinya bermusuhan itu harus diperlakukan dengan adil dan bijaksana, penuh kesadaran sehingga tidak terulang lagi permusuhan seperti itu di masa yang akan datang. Allah SWT memerintahkan supaya mereka tetap melakukan keadilan dalam segala urusan mereka, karena Allah SWT menyukainya dan akan memberi pahala kepada orang-orang yang berlaku adil dalam segala urusan.
Artinya : (10) “Sesungguhnya orang-orang yang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (orang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah SWT agar kamu mendapat rahmat.”
Tafsir
وقوله: { إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ } أي: الجميع إخوة في الدين، كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه” (5) . وفي الصحيح: “والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه” (6) . وفي الصحيح أيضا: “إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك: آمين، ولك بمثله” (7) . والأحاديث في هذا كثيرة، وفي الصحيح: “مثل المؤمنين في تَوادِّهم وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحُمَّى والسَّهَر”. وفي الصحيح أيضا: “المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا” وشبك بين أصابعه (8) وقوله: { فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ } يعني: الفئتين المقتتلتين، { وَاتَّقُوا اللَّهَ } أي: في جميع أموركم { لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ } ، وهذا تحقيق منه تعالى للرحمة لمن اتقاه.
(10) Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin semuanya bersaudara seperti hubungan persaudaraan antara nasab, karena sama-sama menganut unsur keimanan yang sama dan kekal dalam syurga. Dalam sebuah hadist diriwayatkan:
الُمسْلِمُ أَخُوالمُسْلِمِ لاَ يظلِمُهُ وَلَا يَسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَا جَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَا جَتِهِ وَمَنْ فَرَجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَجَ اللهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُربَا تٍ يَومِ الْقِيَامَةِ وَمَن سَتَرَمُسْلِمًا سَتَرَهُ الله يَومَ القِيامَةِ. (رواه البخاري عن عبد الله بن عمر)
Artinya:
“Muslim itu adalah saudara muslim yang lain, jangan berbuat aniaya dan jangan membiarkannya melakukan aniaya. Orang yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah SWT membantu kebutuhannya. Orang yang melonggarkan satu kesulitan dari seorang muslim, maka Allah SWT melonggarkan satu kesulitan di antara kesulitan-kesulitannya pada hari Kiamat. Orang yang menutupi aib saudaranya, maka Allah SWT akan menutupi kekurangannya pada hari kiamat.” (Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘umar)
Pada hadist sahih yang lain dinyatakan:
اِذَا دَعَا المُسْلِمُ لِأَخِيهِ بِضَهْرِ الغَيبِ قَالَ المَلَكُ : أَمِينَ وَلَكَ بِمِثْلِهِ. (رواه مسلم عن عبي الدرداء)
Artinya:
“Apabila seorang muslim mendo’akan saudaranya yang gaib, maka malaikat berkata, “Amin, dan semoga kamu pun mendapat seperti itu.” (Riwayat Muslim dan Abu ad-Darda’)
Karena persaudaraan itu mendorong ke arah perdamaian, maka Allah SWT menganjurkan agar terus diusahakan di antara saudara seagama seperti perdamaian di antara saudara keseturunan, supaya mereka tetap memelihara  ketakwaan kepada Allah SWT. Mudah-mudahan mereka memperoleh rahmat dan ampunan Allah SWT sebagai balasan terhadap usaha-usaha perdamaian dan ketakwaan mereka. Dari ayat tersebut dapat dipahami perlu adanya kekuatan sebagai penengah untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai.
Sebab Nuzul
Diriwayatkan oleh Qatadah bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa dua orang dari sahabat Anshar yang bersengketa tentang suatu urusan hak milik. Salah seorang dari mereka berkata bahwa ia akan mengambil haknya dari yang lain dengan paksaan. Ia mengancam demikian karena banyak pengikutnya, sedangkan yang satu lagi mengajak dia supaya minta keputusan Nabi sw. Ia tetap menolak sehingga perkaranya hampir-hampir menimbulkan perkelahian dengan tangan dan terompah, meskipun tidak sampai menggunakan senjata tajam.
(LARANGAN SALING MENGEJEK DAN BERPRASANGKA)
Artinya:
            (11) Wahai orang-orang  yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka  (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
 Tafsir
ينهى تعالى عن السخرية بالناس، وهو احتقارهم والاستهزاء بهم، كما ثبت في الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: “الكِبْر بطر الحق وغَمْص الناس” ويروى: “وغمط الناس” (1) والمراد من ذلك: احتقارهم واستصغارهم، وهذا حرام، فإنه قد يكون المحتقر أعظم قدرا عند الله وأحب إليه من الساخر منه المحتقر له؛ ولهذا قال: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ } ، فنص على نهي الرجال وعطف بنهي النساء.
وقوله: { وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } أي: لا تلمزوا الناس . والهمَّاز اللَّماز من الرجال مذموم ملعون، كما قال [تعالى] : (2) { وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ } [الهمزة : 1] ، فالهمز بالفعل واللمز بالقول، كما قال: { هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ } [القلم : 11] أي: يحتقر الناس ويهمزهم طاعنًا عليهم، ويمشي بينهم بالنميمة وهي: اللمز بالمقال؛ ولهذا قال هاهنا: { وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } ، كما قال: { وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ } [النساء : 29] أي: لا يقتل بعضكم بعضا (3) .
قال ابن عباس، ومجاهد، وسعيد بن جبير، وقتادة، ومقاتل بن حَيَّان: { وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } أي: لا يطعن بعضكم على بعض.
وقوله: { وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ } أي: لا تتداعوا بالألقاب، وهي التي يسوء الشخص سماعها.
قال (4) الإمام أحمد: حدثنا إسماعيل، حدثنا داود بن أبي هند، عن الشعبي قال: حدثني أبو جَبِيرة (5) بن الضحاك قال: فينا نزلت في بني سلمة: { وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ } قال: قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة وليس فينا رجل إلا وله اسمان أو ثلاثة، فكان إذا دُعِىَ أحد منهم باسم من تلك الأسماء قالوا: يا رسول الله، إنه يغضب من هذا. فنزلت: { وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ }
ورواه أبو داود عن موسى بن إسماعيل، عن وُهَيْب، عن داود، به (6) .
وقوله: { بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ } أي: بئس الصفة والاسم الفسوق وهو: التنابز بالألقاب، كما كان أهل الجاهلية يتناعتون، بعدما دخلتم (7) في الإسلام وعقلتموه، { وَمَنْ لَمْ يَتُبْ }

            (11) Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah SWT jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokan. Demikian pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang di olok-olok itu pada sisi Allah SWT lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan-perempuan yang mengolok-olok.
Allah SWT melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah SWT melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk  seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya, Tersebut dalam sebuah hadist riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir.
مَسَلُ المُؤْ مِنِينَ فِي تَوَادِّهِم وَتَرَاحُمِهِم وَتَعَا طُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى مِنهُ عُضوُ تَدَا عَى لَهُ سَاىِرِ الجَسَدِ بِا الحُمَّى وَالسَّهْرِ. (رواه مسلم و أحمد عن النعما ن بن بشير)
Artinya :
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih mengasihi dan sayang menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu: bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula.”
انَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ وَاَموَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلَى قُلُو بِكُمْ وَأعْمَا لِكُمْ .(رواه مسلم عن ابي هريرة)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbuatanmu.” ( Riwayat Muslin dan Abu Hurairah).
Hadist ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah SWT jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan, padahal Allah SWT melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela. Sebaliknya pula mungkin ada orang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah SWT melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertobat dari dosanya. Maka perbuatan yang tampak di luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan, Allah SWT melarang kaum mukminin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman.
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri d n pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah SWT pada hari Kiamat.
 Sabab Nuzul
            Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku Kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjung kepada Rasulullah saw, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman al-Farisi, dan lain-lain karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengemukakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Safiyyah binti Huyay bin Akhtab yang pernah datang menghadap Rasulullah saw, melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah pernah menegur dia dengan kata-kata  yang menyakitkan hati seperti, “Hai perempuan Yahudi, keturunan Yahudi, dan sebagainya,” sehingga Nabi saw bersabda kepadanya, “Mengapa tidak engkau jawab saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa, dan suamiku adalah Muhammad.”
Ada pula yang mengaitkan penurunan ayat ini dengan situasi di Madinah. Ketika Rasulullah saw tiba di kota itu, orang-orang Anshar banyak yang mempunyai nama lebih dari satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil dengan nama yang tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
(LARANGAN BERBURUK SANGKA DAN BERGUNJING)
Terjemah
            (12) Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.


Tafsir
يقول تعالى ناهيا عباده المؤمنين عن كثير من الظن، وهو التهمة والتخون للأهل والأقارب والناس في غير محله؛ لأن بعض ذلك يكون إثما محضا، فليجتنب كثير منه احتياطا، وروينا عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب، رضي الله عنه، أنه قال: ولا تظنن بكلمة خرجت من أخيك المسلم إلا خيرا، وأنت تجد لها في الخير محملا (1) .
وقال أبو عبد الله بن ماجه: حدثنا أبو القاسم بن أبي ضمرة نصر بن محمد بن سليمان الحِمْصي، حدثنا أبي، حدثنا عبد الله بن أبي قيس النَّضري، حدثنا (2) عبد الله بن عمر (3) قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يطوف بالكعبة ويقول: “ما أطيبك وأطيب ريحك، ما أعظمك وأعظم حرمتك. والذي نفس محمد بيده، لحرمة المؤمن أعظم عند الله حرمة منك، ماله ودمه، وأن يظن به إلا خير (4) . تفرد به ابن ماجه من هذا الوجه (5) .
وقال مالك، عن أبي الزِّناد، عن الأعرج، عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إياكم والظن فإن الظن (6) أكذب الحديث، ولا تجسسوا ولا تحسسوا، ولا تنافسوا، ولا تحاسدوا، ولا تباغضوا، ولا تدابروا، وكونوا عباد الله إخوانا”.
رواه البخاري عن عبد الله بن يوسف، ومسلم عن يحيى بن يحيى، وأبو داود عن العتبي [ثلاثتهم] (7) ، عن مالك، به (8) .
وقال سفيان بن عيينة، عن الزهري، عن أنس [رضي الله عنه] (9) قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا تقاطعوا، ولا تدابروا، ولا تباغضوا، ولا تحاسدوا، وكونوا عباد الله إخوانا، ولا يحل للمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام”.
رواه مسلم والترمذي -وصححه-من حديث سفيان بن عيينة، به (10) .
صلى الله عليه وسلم قال: “من حمى مؤمنا من منافق يعيبه (1) ، بعث الله إليه ملكا يحمي لحمه يوم القيامة من نار جهنم. ومن رمى مؤمنا بشيء يريد شينه، حبسه الله على جسر جهنم حتى يخرج مما قال”. وكذا رواه أبو داود من حديث عبد الله -وهو ابن المبارك-به بنحوه (2) .
وقال (3) أبو داود أيضا: حدثنا إسحاق بن الصباح، حدثنا ابن أبي مريم، أخبرنا الليث: حدثني يحيى بن سليم؛ أنه سمع إسماعيل بن بشير يقول: سمعت جابر بن عبد الله، وأبا طلحة بن سهل الأنصاري يقولان: قال (4) رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ما من امرىء يخذل امرأ مسلما في موضع تنتهك فيه حرمته وينتقص فيه من عرضه، إلا خذله الله في مواطن يحب فيها نصرته. وما من امرئ ينصر امرأ مسلما في موضع ينتقص فيه من عرضه، وينتهك فيه من حرمته (5) ، إلا نصره الله في مواطن يحب فيها نصرته”. تفرد به أبو داود (6) .                                                          
            (12) Allah SWT memberikan peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman. Jika mereka mendengar sebuah ucapan yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka ucapan itu harus mendapat tanggapan yang baik, dengan ungkapan yang baik, sehingga tidak menimbulkan salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka.
Artinya:
            (13) “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah SWT Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Sebab Nuzul
            Diriwayatkan oleh Abu Dawud mengenai turunnya ayat ini yaitu tentang peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat yang bernama Abu Hindin yang bisa berkhidmat kepada Nabi Muhammad saw untuk mengeluarkan darah kotor dari kepalanya dengan pembekam, yang bentuknya seperti tanduk.  Rasulullah saw menyuruh kabilah Bani Bayadah agar  kalangan mereka. Mereka bertanya , “Apakah patut kami menikahkan gadis-gadis kami dengan budak-budak?” Maka Allah SWT menurunkan ayat ini agar kita mencemoohkan seseorang karena memandang rendah kedudukannya.
Tafsir
يقول تعالى مخبرًا للناس أنه خلقهم من نفس واحدة، وجعل منها زوجها، وهما آدم وحواء، وجعلهم شعوبا، وهي أعم من القبائل، وبعد القبائل مراتب أخر كالفصائل والعشائر والعمائر والأفخاذ وغير ذلك.
وقيل: المراد بالشعوب بطون العَجَم، وبالقبائل بطون العرب، كما أن الأسباط بطون بني إسرائيل. وقد لخصت هذا في مقدمة مفردة جمعتها من كتاب: “الإنباه” لأبي عمر (7) بن عبد البر، ومن كتاب “القصد والأمم، في معرفة أنساب العرب والعجم”. فجميع الناس في الشرف بالنسبة الطينية إلى آدم وحواء سواء، وإنما يتفاضلون بالأمور الدينية، وهي طاعة الله ومتابعة رسوله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا قال تعالى بعد النهي عن الغيبة واحتقار بعض الناس بعضًا، منبها على تساويهم في البشرية: { يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا } أي: ليحصل التعارف بينهم، كلٌ يرجع إلى قبيلته.
وقال مجاهد في قوله: { لِتَعَارَفُوا } ، كما يقال: فلان بن فلان من كذا وكذا، أي: من قبيلة كذا وكذا.
وقال سفيان الثوري: كانت حِمْير ينتسبون إلى مُخَاليفها، وكانت عرب الحجاز ينتسبون إلى قبائلها.
وقد قال (8) أبو عيسى الترمذي: حدثنا أحمد بن محمد، حدثنا عبد الله بن المبارك، عن عبد

(13) Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa,  bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah SWT hanyalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah SWT, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling taqwa kepada-Nya.
Sesungguhnya Allah SWT Maha Penerima tobat lagi Maha Mengetahui tentang apa yang tersembunyi dalam jiwa dan pikiran manusia. Pada akhir hayat, Allah SWT menyatakan mengetahui segala perbuatan mereka.
b.      Al-Qur’an Surah An-Nahl Ayat : 91-92
Artinya :
(91)“Dan tepatilah perjanjian Allah SWT apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah, sesudah meneguhkannya. Sedang kamu telah menjadikan Allah SWT sebagai saksi atas diri kamu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Tafsir
وقد ورد في نزول هذه الآية الكريمة حديث حَسن، رواه الإمام أحمد:
حدثنا أبو النضر، حدثنا عبد الحميد، حدثنا شهر، حدثني عبد الله بن عباس قال: بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم بفناء بيته جالس، إذ مر به عثمان بن مظعون، فكشر (1) إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا تجلس؟” فقال: بلى. قال: فجلس رسول الله صلى الله عليه وسلم مستقبله، فبينما هو يحدثه إذ شَخَص رسول الله صلى الله عليه وسلم ببصره في السماء، فنظر ساعة إلى [السماء] (2) فأخذ يضع بصره حتى وضعه على يَمْنته في الأرض، فتحرَّف رسول الله صلى الله عليه وسلم عن جليسه عثمان إلى حيث وضع بصره فأخذ ينغض رأسه كأنه يستفقه ما يقال له، وابن مظعون ينظر فلما قضى حاجته واستفقه ما يقال له، شخص بصر رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى السماء كما شخص أول مرة. فأتبعه بصره حتى توارى في السماء. فأقبل إلى عثمان بجلسته الأولى فقال: يا محمد، فيما كنت أجالسك؟ ما رأيتك تفعل كفعلك الغداة! قال: “وما رأيتني فعلت؟” قال: رأيتك شخص بصرك إلى السماء ثم وضعته حيث وضعته على يمينك، فتحرفت إليه وتركتني، فأخذت تنغض رأسك كأنك تستفقه شيئا يقال لك. قال: “وفطنت لذلك؟” فقال عثمان: نعم. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أتاني رسول الله آنفا وأنت جالس”. قال: رسولُ الله؟ قال: “نعم”. قال: فما قال لك؟ قال: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ } قال عثمان: فذلك حين استقر الإيمان في قلبي، وأحببت محمدًا صلى الله عليه وسلم (3) .
إسناد جيد متصل حسن، قد (4) بُيِّن فيه السماع المتصل. ورواه ابن أبي حاتم، من حديث عبد الحميد بن بَهرام مختصرًا.
حديث آخر: عن عثمان بن أبي العاص الثقفي في ذلك، قال الإمام أحمد:
حدثنا أسود بن عامر، حدثنا هُرَيْم، عن لَيْث، عن شَهْر بن حَوْشَب، عن عثمان بن أبي العاص قال: كنت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم جالسا، إذ شَخَصَ بَصره فقال: “أتاني جبريل، فأمرني أن أضع هذه الآية بهذا الموضع من هذه السورة: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ [وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ] } (5) (6) .
وهذا إسناد لا بأس به، ولعله عند شهر بن حوشب من الوجهين، والله أعلم.
Tafsir:
Ayat ini memerintahkan: tepatilah perjanjian yang telah kamu ikrarkan dengan Allah apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah sesudah kamu meneguhkannya yakni perjanjian-perjanjian yang kamu akui di hadapan Perusuh Allah. Demikian juga sumpah-sumpah kamu yang menyebut nama-Nya. Betapa kamu tidak harus menepatinya sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi dan pengawas atas diri kamu terhadap sumpah-sumpah dan janji-janji itu. Sesungguhnya allah mengetahui apa yang kamu perbuat, baik niat, ucapan maupun tindakan, dan baik jani, sumpah maupun selainnya, yang nyata maupun yang rahasia.
Yang dimaksud dengan (تنقصوا) membatalkan adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kandungan sumpah/janji.
Yang dimaksud dengan (بعهدالله) perjanjian Allah dalam konteks ayat ini antara lain bahkan terutama adalah bai’at yang mereka ikrarkan di hadapan Nabi Muhammad saw.
Firman-Nya: (بعد توكيدها) ada yang memahaminya dalam arti sesudah kamu meneguhkannya. Atas dasar itu, sementara yang menganut faham ini – seperti al-Biqa’i dan al-Qurthubi – memahami kata tersebut sebagai berfungsi mengecualikan apa yang diistilahkan dengan laghwu al-aiman yakni kalimat yang mengandung redaksi sumpah tetapi tidak dimaksudkan oleh pengucapnya sebagai sumpah.
Artinya:
(92)“ Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai; kamu menjadikan sumpah kamu sebagai penyebab kerusakan di antara kamu, disebabkan adanya suatu golongan yang lebih banyak dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah SWT hanya menguji kamu dengannya. Dan pasti di hari Kiamat nanti akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”
Tafsir
Setelah ayat yang lalu memerintahkan menepati janji dan memenuhi sumpah, ayat ini melarang secara tegas membatalkannya sambil mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Pengilustrasian ini merupakan salah satu bentuk penekanan. Memang penegasan tentang perlunya menepati janji merupakan sendi utama tegaknya masyarakat, karena itulah yang memelihara kepercayaan berinteraksi dengan anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang, bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat.
Kata (دخلا) dari segi bahasa berarti kerusakan, atau sesuatu yang buruk. Yang dimaksud di sini adalah alat atau penyebab kerusakan. Ini karena dengan bersumpah seseorang menanamkan keyakinan dan ketenangan di hati mitranya, tetapi begitu dia mengingkari sumpahnya, maka hubungan mereka menjadi rusak, tidak lain penyebabnya kecuali sumpah itu yang kini telah diingkari. Dengan demikian, sumpah menjadi alat atau sebab kerusakan hubungan.
Kata (أربى) terambil dari kata (الربو) yaitu tinggi atau berlebih. Dari akar yang sama lahir kata riba yang berarti kelebihan. Kelebihan dimaksud bisa saja dalam arti kuantitas, sehingga bermakna lebih banyak bilangannya, atau kualitasnya yakni lebih tingg kualitas hidupnya dengan harta yang melimpah dan kedudukan yang terhormat.
Ayat di atas menyebut kata (أمة) atau golongan sebanyak dua kali. Banyak pakar tafsir memahami ayat ini berbiacara tentang kelakuan beberapa suku pada masa Jahiliyah.
3.      Kandungan Pendidikan dalam Pembinaan Masyarakat.
Pemahaman terhadap konsep masyarakat yang ideal amat diperlukan dalam rangka mengembangkan konsep pendidikan. Berkenaan dengan ini paling tidak terdapat empat hal yang menggambarkan hubungan konsep masyarakat dengan pendidikan, antara lain :
  1. Bahwa gambaran masyarakat yang ideal harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam merancang visi, misi dan tujuan pendidikan
  2. Gambaran masyarakat yang ideal juga harus dijadikan landasan bagi pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat
  3. Perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat juga harus dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan pendidikan
  4. Perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat harus dijadikan landasan bagi perumusan kurikulum

E.     Tafsir Tematik Yang Membahas Tentang Seni Budaya Dan Olahraga
1.      Ta`rifat
Seni ialah: Penciptaan dari segala macam hal atau benda yang karena keindahan bentuknya orang senang melihatnya atau mendengarnya.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah: Penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi kedalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis) atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama)
Seni adalah: satu kalimat terkait yang menunjukkan makna luas. Seni yang indah mempunyai beberapa macam ma`na, diantaranya; melukis, menggambar, dan musik. Ada juga yang berma`na sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia seperti seni bertanam, berdagang, dongeng, memasak dan pengetahuan. Oleh karena banyaknya perbedaan tentang makna tersebut maka ia mempunyai satu arti atau satu makna dasar yaitu (الحذق ) yang berarti : mahir, cakap dan ulet. Atau kemampuan yang diperoleh seseorang melalui cara pentadaburan dan angan-angan.
Adapun seni itu mempunyai dua arti : umum dan khusus, umum ialah : mencakup suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang tersusun dengan rapi dan dimaksudkan pada tujuan-tujuan tertentu, baik berupa kecakapan, keuletan dan kepandaian. Adapun makna khusus ialah : setiap perbuatan yang timbul dan ditujukan pada kemunculan hal-hal yang indah baik berupa ; gambar, suara, gerakan dan perkataan.
2.      Perhatian Islam pada kebutuhan manusia.
Islam merupakan agama realistis, yang  memperhatikan tabiat dan kebutuhan manusia, baik jasmani, rohani, akal dan perasaannya. Sesuai dengan kebutuhan dalam batasan-batasan yang seimbang.
Jika olah raga merupakan kebutuhan jasmani, beribadah sebagai kebutuhan rohani, ilmu pengetahuan sebagai kebutuhan akal, maka seni merupakan kebutuhan rasa (intuisi ) yaitu : seni yang dapat meningkatkan derajat dan kemulyaan manusia, bukan seni yang dapat menjerumuskan manusia dalam kehinaan.
3.      Pandangan Al quran pada keindahan alam.
Seni adalah perasaan dalam menikmati keindahan, dan inilah yang diungkapkan dalam al quran untuk di perhatiakan dan di renungkan, yaitu merenungkan keindahan makhluq ciptaan Allah, dan mengambil manfaat yang di kandungnya, seperti Q.S. an nahl : 5-6, al a’rof : 26.
a.       Apresiasi mukmin terhadap keindahan alam.
Jika kita mentadaburi ayat-ayat al quran akan terlihat jelas bahwa al quran ingin menggugah akal dan hati setiap mukmin untuk menyelami keindahan alam semesta, di angkasa, dasar samudra dan seisinya, bumi, langit, flora, fauna dan manusia.
b.      Al quran mukjizat yang indah.
Al quran adalah bukti yang agung dalam Islam, dan mukjizat terbesar bagi Rasulullah Salallahu alaihi wasallam, dengan kata lain mukjizat yang sangat indah, di samping sebagia mukjizat yang rasional, al quran telah melemahkan kesombongan bangsa arab dengan kindahan ungkapannya, sya’ir dan uslub katanya, serta menpunyai lirik dan lagu tersendiri, sehingga sebagian mereka menganggapnya sihir.
Ulama’ balaghoh dan sastrawan arab menerangkan sisi kemukjizatan ungkapannya atau keindahan kitab ini sejak Abdul Qohir sampai Ar Rofa’ie, Sayyid Qutb dan sastrawan zaman ini.
Salah satu anjuran dalam mengumandangkan al quran adalah mengkolaborasikan kemerduan suara memperindah bacaan dan intonasi.
ورتل القرآن ترتيلا  – المزمل : 4
”Dan bacalah Al quran itu dengan perlahan-lahan “
Rasulullah Salallahu alaihi wasallam bersabda : Hiasilah al quran dengan suaramu
Pada hadist lain beliau mengungkapkan ” Sesengguhnya suara yang baik menambah al quran itu baik.
Sabdanya yang lain ” Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan al quran.
   Setelah sebelumnya telah dipaparkan perhatian Islam pada keindahan, serta menganjurkan untuk mengembangkan instuisi sehingga manusia dapat merasakan dan menikmatinya, keindahan dapat dirasakan oleh pendengaran, penglihatan dan indra yang lain.
Disini kita akan membahas beberapa contoh seni keindahan yang bisa dirasakan manusia khususnya pada pendengaran dan indra yang lain. Oleh karena sangat luasnya pembahasan masalah ini sesuai dengan perkembangan pada zaman modern ini, maka kami membatasi pada hal yang mempunyai posisi cukup setrategis di mata masyarakat kita yaitu seni musik, suara ( nyanyian dan lagu ). Sesuai dengan pemahaman salafus sholeh ummat ini dengan bersandar pada Al quran dan As sunnah.

F.     Tafsir Tematik Yang Membahas Tentang Pembinaan Generasi Remaja
Membangun kesadaran bagi generasi bukanlah hal yang gampang untuk tercapai secara maksimal, tetapi dalam pembinaan kesadaran yang menjadi hal pokok untuk dibangun. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk mengintensifkan pemilikan nilai-nilai dari pada yang sudah dimiliki, sebab dengan cara tersebut akan mampu mewujudkan pemeliharaan yang dinamis dan berkesinambungan.
Dalam hal ini pembinaan dimaksudkan adalah pembinaan keagamaan (akhlak) yang mempunyai sasaran pada generasi muda, maka tentu aspek yang ingin dicapai dalam hal ini adalah sasaran kejiwaan setiap individu, sehingga boleh dikatakan bahwa pencapaiannya adalah memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Keunikan dimaksudkan tidak karena ditentukan prototipitas tema pembahasannya, melainkan disebabkan karena sasaran yang diambil merupakan suatu pengelompokkan demografis yang gencar-gencarnya mengalami perubahan dan perkembangan psikologi kejiwaan anak.
Dalam masa ini jatidiri dan sikap arogan masih sangat kuat untuk diperpegangi bagi generasi muda, sehingga memerlukan kehati-hatian yang ekstra ketat. Sehingga mampu menanamkan nilai-nilai dan konsep pembinaan, khususnya dalam hal pembinaan akhlak melalui ajaran tasawuf dalam merubah perilaku generasi muda dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perkembangan psikologi remaja dikatakan bahwa perkembangan psikologi remaja sedikit mempunyai pengaruh terhadap cara-cara penanaman dan pemahaman nilai akhlak. Hal ini diungkapkan oleh ahli psikologi remaja bahwa pada satu pihak remaja tidak begitu saja mampu menerima konsep-konsep, nilai-nilai suatu ajaran, apalagi ajaran yang membatasi diri seseorang, tetapi  terkadang dipertentangkan dengan citra diri dan struktur kognitif yang dimilikinya.
Pembinaan yang bercorak keagamaan atau keislaman akan selalu bertumpu pada dua aspek, yaitu aspek spiritualnya dan aspek materialnya. Aspek spiritual ditekankan pada pembentukan kondisi batiniah yang mampu mewujudkan suatu ketentraman dan kedamaian di  dalamnya.  Dan dari sinilah memunculkan kesadaran untuk mencari nilai-nilai yang mulia dan bermartabat yang harus dimilikinya sebagai bekal hidup dan harus mampu dilakukan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-harinya saat ini untuk menyongsong kehidupan kelak, kesadaran diri dari seorang remaja sangat  dibutuhkan untuk mampu menangkap dan menerima nilai-nilai spiritual tersebut, tanpa adanya paksaan dan intervensi dari luar dirinya.
Sedangkan pada pencapaian aspek materialnya ditekankan pada kegiatan kongkrit yaitu berupa pengarah diri melalui  kegiatan yang bermanfaat, seperti organisasi, olahraga, sanggar seni dan lain-lainnya. Kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dimaksudkan agar mampu berjiwa besar dalam membangun diri dari dalam batinnya, sehingga dengan kegiatan tersebut, maka tentu dia akan mampu memiliki semangat dan kepekatan yang tinggi dalam kehidupannya.
Penanaman semangat kepahlawanan memberikan nilai positif bagi generasi muda, sebab  tentu akan membangun semangat dan menumbuhkan jiwa  kepahlawanan, baik terhadap negara, agama maupun bangsa.Membangun jiwa kepahlawanan ke dalam diri generasi muda adalah salah satu unsur dalam  melakukan pembinaan, dan pembinaan dapat terarah dan konstruktif.  Sehingga perlu suatu kesadaran moral bahwa generasi muda adalah yang selalu mengambil peran dalam  setiap langkah yang bermanfaat bagi  bangsa dan agama, pada dasarnya mereka akan mengambil peranan  dan terpanggil untuk berbakti sebagai suatu tuntutan,  baik tuntutan itu datang sebagai generasi bangsa maupun sebagai generasi agama.



1.      Surat An-Nisa Ayat 9 dan 95
Surat An-Nisa Ayat 9
Tafsirnya
Allah memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.
Maksudnya, anak-anak yang masih kecil-kecil (mereka khawatir terhadap nasib mereka) akan terlantar (maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah) mengenai urusan anak-anak yatim itu dan hendaklah mereka lakukan terhadap anak-anak yatim itu apa yang mereka ingini dilakukan orang terhadap anak-anak mereka sepeninggal mereka nanti (dan hendaklah mereka ucapkan) kepada orang yang hendak meninggal (perkataan yang benar) misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara dan menderita.


2.      Surat An-Nisa Ayat 95
Tafsirnya
Diriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan beberapa orang yang tidak mau turut berperang bersama Rasulullah saw pada peperangan Badar. Mereka itu adalah Ka'ab Ibnu Malik dari Bani Salamah, Mararah Ibnur Rabi' dari Bani `Amr bin 'Auf, dan Ar Rabi serta Hilal ibnu Umayyah dari Bani Waqif. Sudah jelas, bahwa orang-orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang-orang yang enggan berbuat demikian. Akan tetapi ayat ml mengemukakan hal tersebut adalah untuk menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian besarnya. sehingga orang-orang yang berjihad itu pada derajat yang amal tinggi.
 Apabila orang-orang yang tidak berjihad itu menyadari kerugian mereka dalam hal ini, maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang tinggi itu, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya. Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan itu. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dun orang- orang yang tidak berilmu.
3.      Surat At-Tahrim Ayat 6
Asbabun Nuzulnya
Ibnu katsir setelah menulis ayat At-Tahrim beliau juga menukil pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya Maria Al-Qibtiah tapi kemudian beliau menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah Nabi mengharamkan atas dirinya madu.Kemudian Syaikh Utsaimin menguatkan pendapat yang mengatakan sebab turunnya ayat ini adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan atas dirinya madu.
Tafsinya
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala,  “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah SWT. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132).
dan dijelaskan pula dengan firman-Nya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
4.      Surat At-Tagabun Ayat 14-15
Asbabun Nuzulnya
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ......
turun berkenaan dengan beberapa orang penduduk mekah yang masuk islam, akan tetapi istri dan ank-anaknya menolak hijrah ataupun ditinggal hijrah ke Madinah. Lama kelamaan mereka pun hijrah juga. Sesampainya di Madinah, mereka melihat kawan-kawannya telah banyak mendapat pelajaran dari nabi Saw. Karenanya mereka bermaksud menyiksa istri  dan anak-anaknya yang menjadi penghalang unutk berhijrah. Maka turunlah ayat selanjutnya :
....وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Dalam riwayat lain, ayat di atas turun berkenaan dengan ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i yang mempunyai anak istri yang selalu menangisinya apbila akan pergi berperang , bahkan menghjalanginya dengan berkata : “Kepada siapa engkau akan menitipkan kami?” ia pun merasa kasihan kepada mereka hingga tidak jadi berangkat perang.
Ayat di atas berbicara tentang kehidupan suatu keluarga, di mana pada keluarga tersebut kadang-kadang ada istri yang menjadi musuh bagi keluarga tersebut dan bahkan dari anak-anak mereka pun kadang kala ada yang menjadi musuh baginya. Benar-benar disengaja atau tidak kadang-kadang ada dari mereka yang menjadi musuh, sekurang-kurangnya menjadi musuh yang akan menghambat cita-cita. Sebab itu di suruhlah orang yang beriman berhati-hati terhadap istri dan anak-anaknya, jangan sampai mereka itu mepengaruhi iman dan keyakinan. Tetapi jangan langsung mengambil sikap keras terhadap mereka. Bimbinglah mereka baik-baik. “: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Alllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (ujung ayat 14).
 Tafsirnya
a.       Di pangkal ayat diterangkan dengan memakai min (من) , yang berarti “daripada”, artinya setengah daripada, tegasnya bukanlah semua istri atau semua anak menjadi musuh hanya kadang-kadang atau pernah ada. Hasil dari sikap mereka telah merupakan suatu musuh yang cita-cita seorang mu’min  sebagai suami atau sebagai ayah.
b.      Kata عَدُوًّا berarti يعادونكم و يشغلونكم عن الخير  yaitu memalingkan dan menyibukkan kita sehingga jauh dari kebaikan. Sebagian pasangan dan anak merupakan musuh dapat dipahami dalam arti musuh yang sebenarnya, yang menaruh kebencian dan ingin memisahkan diri dari ikatan perkawinan. Ini bisa saja terjadi kapan dan di mana pun. Dan bisa juga permusuhan dimaksud dalam pengertian majazi, yakni bagaikan musuh. Ini karena dampak dari tuntunan dari mereka yang menjerumuskan pasangannya dalam kesulitan bahkan bahaya, layaknya perlakuan musuh terhadap musuhnya.
Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)
5.      Surat Al-A’raf Ayat 199


Tafsirnya
Menurut Fahruddin Muhammad Al-Razy ayat ini mengandung makna yang tinggi tentang makarimal akhlak karena di dalamnya terdapat ajaran tentang meninggalkan sikap yang memberatkan baik yang bersifat maliyah maupun sikap yang baik antar sesama manusia. Al-Razy mengutip pendapat Ja’far Shodiq, “Tidak ada ayat al-Qur’an tentang makarimal akhlak yang lebih luas dari ayat ini”. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa ayat ini termasuk ayat yang mengkhususkan mengejarkan umat islam tentang nilai-nilai akhlak.





BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Tafsir Tematik yaitu suatu metode penafsiran Alquran dimana para mufassir berupay mengumpulkan ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah kepada suatu pengertian dan tujuan yang sama pula.
2.      Pada surah ar-Rahman ayat 1-4 ditegaskan disini bahwa yang menjadi subjek pendidikan adalah seorang manusia yang merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna karena diberikan olehnya sesuatu yang tidak ia berikan kepada makhluk ciptaannya yang lain yakni akal yang mengangkat derajat manusia sehingga manusialah yang berhak menjadi subjek pendidikan baik bagi sesama ataupun bagi makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
3.      Allah menggariskan takdirnya atas bumi, pertama kalinya dengan memberikan segala fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi. Diciptakanlah lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya. Air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa masa keringnya. Belum cukup dengan itu semua, Allah memperindah polesan kehidupan di  muka bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa, sebagai teman hidup manusia.
4.      Masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan bersama. Selanjutnya dalam  Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama, waktu, tempat baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri.
5.      Jika olah raga merupakan kebutuhan jasmani, beribadah sebagai kebutuhan rohani, ilmu pengetahuan sebagai kebutuhan akal, maka seni merupakan kebutuhan rasa (intuisi ) yaitu : seni yang dapat meningkatkan derajat dan kemulyaan manusia, bukan seni yang dapat menjerumuskan manusia dalam kehinaan.
6.      Membangun kesadaran bagi generasi bukanlah hal yang gampang untuk tercapai secara maksimal, tetapi dalam pembinaan kesadaran yang menjadi hal pokok untuk dibangun. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk mengintensifkan pemilikan nilai-nilai dari pada yang sudah dimiliki, sebab dengan cara tersebut akan mampu mewujudkan pemeliharaan yang dinamis dan berkesinambungan.

B.     SARAN
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna untuk itu kami minta sumbangsih saran dan kritiknya untuk perbaikan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur‘an, terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 127, 133, 149.

Al-Aridh,Ali Hasan. Sejarah metodologi Tafsir. Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada, 1994.

Al-Farmawiy,Abdul Al-Hayy. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mau«­’i. Kairo : al-¦a«oroh al-‘Arabiyah, 1977.

Al-Ma’i,Zahir bin Awadh Dirasat fi al- Tafs³r al-Mau«­’I, 1997.

Al-Qattan,Manna Khalil. Mab±his fi ‘Ul­mil Quran. Raiyadh : D±r al-Ma’arif, 1973.

Al-Sadr, Muhammad Baqir. Tafsir Mau«­’i wa Tafsir Al-Tajzi’i pi Al-Quran Al-Karim. Beirut : Ta’aruf al-Matb­’at, 1980.

Badr al-Dîn Muh}ammad al-Zarkashî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988), 1:61-72.

David S. Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa mansûkhuhu,” dalam Andrew Rippin, Approach to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford: Clarendon Press, 1988), hlm. 120.

Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. Oleh Suryan A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, cet. Ke xix (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 71.

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Ummat. (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 112.

Munawwir,Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwar. Yogyakarta, 1984.

T. M. Hasi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Djakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 204 dan 224; Mohammad Aly Ash-Shabuny, Pengantar Studi al-Qur’an [At-Tibyan], terj. Moch Shudlori Umar dan Moh. Matsna (Bandung: P.T. Al-Ma‘arif, 1970), 205, 210, 234.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar