BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Anggapan orang selama ini
bahwa pembelajaran bahasa dan sastra indonesia merupakan mata pelajaran yang
gampang saja. Bahkan, tidak jarang siswa-siswa menganggap remeh mengenai
keberadaan bahasa dan sastra indonesia sehingga kerap kali mereka
tidak terlalu antusias untuk mendalami atau menggeluti ilmu bahasa dan sastra
indonesia.
Padahal jika dipelajari
secara mendalam, pembelajaran bahasa dan sastra indonesis sebenarnya cukup
sulit. Buktinya, banyak siswa-siswa yang memperoleh nilai yang tidak bagus
dalam mata pelajaran ini. Bahkan banyak siswa yang tidak lulus ujian bahasa dan
sastra indonesia.
Telah sering kali kita
mendengar bahwa pembelajaran bahasa sastra disekolah-sekolah selama ini masih
“gagal” atau belum memenuhi harapan banyak pihak, baik yang bernada kritik
santun maupun tudingan pedas. Kendati pendapat tersebut masih bersifat
subjektif, tetapi ada baiknya jika kita mencoba berendah hati untuk
menerimanya. Barangkali memang ada banyak masalah yang terus menelingkung dunia
pendidikan dan pengajaran kita selama ini, khususnya dalam konteks pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia. Faktor-faktor apa saja yang kiranya menjadi
kendala tersebut, sejauh mana penagaruhnya hingga kini masih merupakan pertanyaan
besar bagi kita. Hal-hal itulah yang harus kita identifikasikan agar dapat
dibenahi dan diantisipasi sebaik mungkin.
Dalam makalah ini penulis
akan menguraikan problem pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guna
menciptakan atau mewujudkan suasana pembelajaran bahasa dan sastra indonesia
yang inovatif, kreatif dan berdaya guna.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini penulis
membatasi permasalahan, yang bertujuan agar lebih terarah dan tepat sasaran.
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
a. Mengapa
pembelajaran bahasa dan satra Indonesia disekolah dianggap telah gagal?
b. Apa
yang menjadi ploblem gagalnya pembelajaran bahasa dan sastra?
c. Bagaimana
solusi mengatasinya?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun beberapa tujuan dalam penulisan
makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui
sebab pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di sekolah dianggap
gagal.
2. Mengetahui
problem gagalnya pembelajaran bahasa dan sastra.
3. Mengetahui
solusi mengatasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEMATIK PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA
Hubungan bahasa dengan
sastra Indonesia pada dasarnya serupa dua sisi mata keping uang logam. Keduanya
saling ketergantungan tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri sastra merupakan
sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya (Prodopo,
1995). Bahasa sendiri tidaklah netral, sebab sebelum jadi analisir dari
bangunan karya sastra, bahasa telah memiliki arti tersendiri
(meaning) berdasarkan konvensi bahasa tingkat pertama melalui pembacaan
heuristik.
A. Problematik
Pembelajaran Bahasa
Secara rinci problematik
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah disebabkan oleh beberapa factor
berikut ini, antara lain adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran
Bahasa Tidak Komunikatif
Sesuai dengan hakikat
bahasa dan pembelajaran bahasa, penekanan utama adalah menciptakan pembelajaran
yang komunikatif. Dalam konteks ini pembelajaran harus dilakukan dalam konteks
komunikatif. Maksudnya aktivitas siswa difokuskan pada bagaimana siswa
menggunakan bahasa dalam berkomunikasi.
Banyak factor yang
menyebabkan pembelajaran bahasa tidak berlangsung komunikatif :
1. rendahnya
kompetensi komunikatif guru bahasa Indonesia;
2. model
kelas yang besar menyebabkan aktivitas siswa tidak merata;
3. interaksi
kelas kurang berjalan secara optimal. Selain factor di atas kecenderungan
pembelajaran bahasa di sekolah masih didominasi dengan pemberian pengetahuan
dari pada kemahiran berbahasa.
Hal di atas sejalan
dengan hasil survey Suparno (1997:35) yang menyatakan bahwa: (a) guru masih
cenderung memberikan penjelasan tentang bahasa, bukan pelatihan keterampilan
berbahasa secara integrative dan komunikatif; (b) sebagian besar guru belum
memiliki penguasaan yang memadai tentang taksonomi kemahiran berbahasa
Indonesia (c) kelas yang besar berakibat guru mengikuti dinamika kelas bukan
guru menciptakan dinamika kelas; (d) guru kurang menggunakan sumber lain selain
buku teks; (e) masih banyak guru yang kebakuan bahasanya kurang ideal.
2. Pembelajaran
Bahasa yang Disajikan Secara Diskrit
Pembelajaran bahasa
Indonesia masih cenderung dilakukan dengan model diskrit. Keterampilan
berbahasa yang idealnya disajikan secara terintegrasi belum dapat diimplementasikan
secara optimal di kelas. Aspek-aspek kemahiran berbahasa masih disajikan secara
terpisah. Misalnya, guru mengajarkan keterampilan menyimak, seakan-akan guru
hanya terfokus pada keterampilan menyimak tersebut. Sebenarnya apabila guru
memahami hakikat pembelajaran integrative (tematis) maka pembelajaran bahasa
dapat berlangsung secara alamiah sesuai dengan hakikat fungsi bahasa sebagai
alat komunikasi. Pola implementasi integrative ini akan mendorong kemahiran
berbahasa siswa secara baik.
Untuk memperlancar kegiatan
pengajaran bahasa secara integrative diperlukanlah metode atau suatu rumusan
sistem cara pengajaran karena metode pengajaran yang bervariasi karena langkah
ini merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengajaran. Peran suatu metode
sangatlah besar dalam suatu pengajaran dan bersangkutan juga dengan siswa yang
menjadi objek pengajaran.
Dalam menerapkan metode
pengajaran bahasa ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan terlebih dahulu
oleh para pengajar yang antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pengajaran
harus disesuaikan dengan kultur sosial dari objek siswa;
2. Menggunakan
metode yang dianggap mudah oleh para siswa;
3. Melalui
pendekatan yang sifatnya komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar.
3. Rendahnya
Persepsi Siswa terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia
Dalam pembelajaran bahasa
Indonesia harus memperhatikan karekteristik siswa. Hal ini digunakan untuk
melihat kecenderungan dan keinginan siswa dalam pembelajaran bahasa tersevut.
Menurut Van Els (1984:27) mengklasifikasikan karakteristik siswa atas empat
bagian yakni (1) umur siswa, (2) bakat, (3) pengetahuan siswa, (4) sikap yang
meliputi minat, motivasi, dan kepribadian.
Komponen di atas
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran
bahasa harus memperhatikan tingkat perkembangan usia siswa. Hal ini berkaitan
dengan pemilihan materi atau contoh-contoh yang diberikan guru. Materi bahasa
Indonesia yang secara berjenjang diberikan di tingkat satuan pendidikan
menghendaki kemampuan guru menganalisis kebutuhan materi dengan baik. Guru juga
harus memahami bakat bahasa dan pengetahuan siswa. Karakteristik yang sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah sikap meliputi minat, motivasi,
dan kepribadian.
Berdasarkan pengalaman di
sekolah, persepsi siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia berada pada
taraf yang rendah. Kondisi ini berdampak pada rendahnya motivasi siswa terhadap
mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal ini berimplikasi pada rendahnya hasil
belajar siswa.
4. Pemanfaatan
Pokok Sumber Belajar (Buku Teks) dalam Pembelajaran
Karena KTSP dikembangkan
dan disusun oleh satuan pendidikan atau sekolah sesuai dengan kondisinya
masing-masing, setiap sekolah mempunyai kurikulum yang berbeda. Dengan
demikian, bahan ajar yang digunakan juga mempunyai perbedaan. Tidak ada
ketentuan tentang buku pelajaran yang dipakai dalam KTSP. Buku yang sudah ada
dapat dipakai. Karena pembelajaran didasarkan pada kurikulum yang dikembangkan
sekolah, bahan ajar harus disesuaikan dengan kurikulum tersebut. Oleh
karena itu, guru dapat mengurangi dan menambah isi buku pelajaran yang
digunakan.
Dengan demikian, guru
harus mandiri dan kreatif. Guru harus menyeleksi bahan ajar yang digunakan
dalam pembelajaran sesuai dengan kurikulum sekolahnya.Guru dapat memanfaatkan
bahan ajar dari berbagai sumber (surat kabar, majalah, radio, televisi,
internet, dsb.). Bahan ajar dikaitkan dengan isu-isu lokal, regional, nasional,
dan global agar peserta didik nantinya mempunyai wawasan yang luas dalam
memahami dan menanggapi berbagai macam situasi kehidupan.
Untuk pelajaran membaca,
misalnya, bahan bacaan dapat diambil dari surat kabar. Di samping surat kabar
yang berskala nasional yang banyak menyajikan isu-isu nasional, ada surat kabar
lokal yang banyak menyajikan isu-isu daerah. Kedua jenis sumber ini dapat
dimanfaatkan. Bahan bacaan yang mengandung muatan nasional dan global dapat
diambil dari surat kabar berskala nasional, sedangkan bahan bacaan yang
mengandung muatan lokal dapat diambil dari surat kabar daerah. Berdasarkan
bahan bacaan ini, guru dapat mengembangkan pembelajaran bahasa Indonesia yang
kontekstual. Peserta didik diperkenalkan dengan isu-isu yang menjadi perhatian
masyarakat di sekitarnya dan masyarakat yang tatarannya lebih luas.
Bahan ajar yang beragam
jenis dan sumbernya ini tentu juga dapat digunakan untuk pelajaran-pelajaran
yang lain (menulis, mendengarkan, dan berbicara). Mengingat pentingnya televisi
dan komputer (internet) dalam kehidupan sekarang ini, guru perlu memanfaatkan
bahan ajar dari kedua sumber ini. Televisi dan komputer juga dapat dapat
dipakai sebagai media pembelajaran yang menarik.
Namun kenyataannya, buku
ajar yang digunakan oleh guru merupakan buku ajar yang disusun oleh tim penulis
buku yang disetujui oleh Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini tentunya tidak
sejalan dengan prinsip penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang
digunakan. Bahan dalam buku ajar tidak kontekstual. Untuk itu, idealnya setiap
guru atau wilayah harus dapat menyusun buku ajar yang digunakan selingkung
dengan mengacu standar isi yang ditetapkan.
5. Alat
Evaluasi yang tidak Relevan
Dalam penyusunan soal tes
tertulis, penulis soal harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan soal dilihat
dari segi materi, konstruksi, maupun bahasa. Selain itu soal yang dibuat
hendaknya menuntut penalaran yang tinggi.
Hal ini dapat dilakukan
antara lain dengan cara :· mengidentifikasi materi yang dapat mengukur perilaku
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, atau evaluasi. Perilaku ingatan juga
diperlukan namun kedudukannya adalah sebagai langkah awal sebelum siswa dapat
mengukur perilaku yang disebutkan di atas, membiasakan menulis soal yang
mengukur kemampuan berfikir kritis dan mengukur keterampilan pemecahan masalah;
dan menyajikan dasar pertanyaan (stimulus) pada setiap pertanyaan, misalnya
dalam bentuk ilustrasi/bahan bacaan seperti kasus.
Bila dianalisis soal-soal
yang digunakan dalam pembelajaran bahasa ada kecerderungan belum mengukur
kemahiran berbahasa khususnya menyimak, berbicara, dan menulis. Kedua kemahiran
ini hanya diukur melalui paradigma teoritis. Tes tidak dilakukan untuk mengukur
performace kemahiran berbahasa. Keterampilan berbahasa yang tercermin secara
penuh hanya kemahiran membaca.
Kecenderungan ini sangat berpengaruh
terhadap guru dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembelajaran di kelas.
Pada kenyataannya, guru hanya mengajarkan siswa untuk menjawab soal teoritis
dan mengabaikan kemahiran berbahasa siswa.
B. Problematik
Pembelajaran Sastra
Secara umum ada delapan
faktor yang didefinisikan sebagai momok gagalnya pembelajaran sastra di
sekolah-sekolah , antara lain :
1. Mitos-Mitos
Negatif Di Seputar Dunia Sastra
Mitos-mitos negatif itu
antara lain :
1. Ada
yang beranggapan bahwa sastra merupakan dunia para pengkhayal ulung, potret
kehidupan para “pekerja” seni, yang seolah-olah dipandang sebagai orang yang
kekurangan pekerjaan.
2. Kehidupan
para seniman identik dengan kehidupan yang tidak wajar, bebas, kasar, anarkis,
suka mengkritik, berpikiran aneh, berbaju kumal, berambut gondrong, dan sikap
eksentrik lainnya.
3. Dalam
hal keilmuan, sastra dipandang hanya menjadi urusan para pakar, kritikus, atau
seniman sastra.
4. Menjadi
ahli sastra bukanlah profesi yang menguntungkan secara materiil karena
kenyataan memang menunjukan, tidak banyak orang yamg kaya lataranmenjadi ahli
seniman sastra.
2. Dunia
Sastra Yang Selalu Terpencil
Pengertian “terpencil” dalam konteks ini
tidak hanya mengandaikan lemahnya kegairahan masyarakat untuk membaca dan
mendekati cipta sastra, tetapi juga mengindikasikan sikap dan kometmen
pemerintah yang cenderung apatis terhadap tumbuh berkembangnya sastra Indonesia
– kenyataan seperti ini juga berlaku untuk segala masalah seni budaya pada
umumnya. Oleh karena itu, bukanlah suatu kebetulan jika kondisi pembelajaran
sastra disekolah-sekolah kita selama ini juga cenderung asal jalan dan
kenyataannya memang seperti jalan di tempat.
3. Teori
Sastra Versus Kebebasan Kreatif Seniman
Dalam dunia sastra,
adanya konsep licentia poetica seakan telah dipahami sebagai suatu “doktrin”
bagi para seniman sastra terutama penyair dalam kebebasan kreatif cipta sastra
mereka sehingga ada kecenderungan untuk melanggar batas-batas konvensional,
baik konvensi bahasa maupun kovensi sastra.Dengan modal dokrin tersebut, para
sastrawan selalu menuntut sifat-sifat kebaruan dan orsinalitas dalam
karya-karya mereka. Kondisi semacam itulah yang sangat berpengaruh terhadap
pembelajaran sastra di sekolah, terutama jika meyentuh wilayah teoretisnya
(aspek kognitif). Akibat selanjutnya, para guru menjadi ragu ketika menjelaskan
suatu defenisi, batasan, atau ciri-ciri sastra dan genre sastra tertentu.
Keraguan guru kemudian
bersambut pada kebingungan siswa, bahkan mungkin bisa menyurutkan kepercayaan
mereka terhadap wawasan keilmuan dan kompetensi sang guru . Jadi, hal ini pun
merupakan salah satu problem dalam pengajaran sastra.
4. Kesalahan
Konsep Dalam Pembelajaran Sastra
Kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra
ini terjadi aspek afektif kemampuan seseorang bukan karena mengandalkan
kemampuan intuitif, imajinatif, dan daya kreatif. Ini terjadi karena guru
cenderung mengutamakan pembelajaran sastra dengan meteri-meteri yang bersifat
teoritis, hanya menuntut hapalan sejarah sastra serta tokoh-tokoh sastra
sastrawan dan karyanya saja.Pembelajaran sastra pada akhirnya derupa dengan
pembelajaran geografi, fisika, dan yang lainnya yang menuntut kemampuan
kognitif daripada kemampuan afektif siswa.
5. Keterbatasan
Alokasi Waktu Pembelajaran
Proporsi alokasi waktu untuk bidang
pembelajaran sastra dinilai tidak seimbang dengan jatah waktu untuk bidang
pembelajaran bahasa. Karena pembelajaran sastra sangat luas kajiannya tidak
cukup hanya satu atau dua pertemuan dalam satu minggu waktunya pun dibagi lagi
dengan pembelajaran bahasa.
Keefisian waktu inilah yang membuat
pelajaran sastra tidak berkembang luas, hanya inti-intinya saja yang
dibicarakan sehingga siswa tidak paham untuk membuat sebuah karya sastra.
6. Pola
Pembelajaran Dan Sistem Evaluasi
Mulai kurikulum
1975-1984-1994 jika ditelusuri setiap kurikulum hanya mengacu pada bidang
pembelajaran bahasa. Baik pendekatan struktural, pragmatik, maupun komunikatif
hanya berorentasi pada teori-teori lingustik, sedangkan untuk bidang
pembelajaran sastra tampaknya kurang tersentuh oleh tim perekayasa
kurikulum.
Materi pembelajaran
sastra masih dominan diisi dengan teori dan sejarah sastra sehingga sistem
evaluasi sastra pun lebih banyak menuntut kemampuan ingatan siswa
tentangperiodisasi sejarah sastra, nama-nama tokoh sastrawan terkemuka dalam
setiap periode atau angkatan, judul-judul buku yang mereka tulis, serta masalah
prinsip-prinsip karya sastra. Soal-soal ujian pun cenderung bersifat teoretis,
belum mengarah pada peningkatan apreseasi sastra. Jika kondisi ini tetap
bertahan,sampai kurikulum-kurikulum yang lebih baru tak akan banyak membawa
perubahan yang berarti bagi pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.
7. Minimnya
Jumlah Buku Pelajaran
Dalam konteks ini,
persoalan utamayang sering dihadapi oleh guru maupun siswa dalampembelajaran
sastra pada umumnya berhubungan dengan pelajaran, baik teks wajibmaupun
pelengkap terutama sekolah yang terletak dipedesaan yang sulit untuk menemukan
toko buku, perpustakaan umum, maupun mesin fotokopi. Sehingga guru tidak mampu
memberikan pengajaran sastra secara apresiatif.
8. Profesionalitas
Guru Terhadap Pembelajaran Sastra
Secara umum, dapat
dikatakan bahwa minat dan motivasi rata-rata guru di Indonesia masih sangat
kurang terhadap dunia sastra dan pembelajarannya. Oleh karena itu, tidak
mengherankanalokasi waktu pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia lebih
dominan digunakan untuk bidang pembelajaran bahasa saja. Kendatipun dalam
Kurikulum 199,misalnya, telah disarankan agar pembelajaran bahasa dan sastra
dapat berjalan secara proporsional, tetapi pada kenyataannya masih banyak guru
tidakmengindahkan rambu-rambu tersebut. Masalahnya akan kembali meyangkut
sikap, minat, dan motivasi guru itu sendiri terhadap bidang pembelajaran
sastra.
Secara khusus problematik
pembelajaran sastra misalnya problematik pengajaran sastra di Kalimantan
Selatan.Sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang
menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra.
Sebenarnya guru Bahasa
dan Sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media
massa, dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik internet
dan radio. Hal terakhir ini sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra
yang ada dalam diri siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan
memublikasikan karya sastra mereka secara luas dan kontinyu. Kenyataan yang
lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi
contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di
media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.
Selain itu, sebagian
besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan
sastrawan Kalimantan Selatan kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian
besar siswa tidak mengenal sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan
karya sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus
dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, guru bahasa
dan sastra tidak hanya memperkenalkan sastrawan dari Pulau Jawa, Sumatera, atau
dari pulau lainnya kepada siswa.
Perlu kita ketahui, bahwa
sebagian sastrawan Kalimantan Selatan juga sudah menjadi sastrawan nasional di
Indonesia. Sebut saja dua contohnya, Jamal T Suryanata dan Arsyad Indradi.
Karya sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di
tiap jenjang pendidikan diprovensi ini. Dengan demikian, siswa juga dapat
membuat karya sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalimantan Selatan juga
ada yang menggunakan Bahasa Banjar dalam berkarya sastra. Bahasa Banjar pun
akhirnya bertambah lestari.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara rinci problematik
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah disebabkan oleh beberapa factor
berikut ini, antara lain adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran bahasa tidak
komunikatif, (2) pembelajaran bahasa yang disajikan secara diskrit,
(3) rendahnya persipsi siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, (4)
pemanfaatan pokok sumber belajar(buku teks) dalam pembelajaran, (5) alat
evaluasi tidak relevan.
Sedangkan problematik
pembelajaran sastra meliputi : (1) Mitos-mitos negatif tentang dunia sastra,
(2) dunia sastra yang selalu terpencil, (3) teori sastra versus kebebasan
kreatif seniman, (4) kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra , (5)
keterbatasan alokasi waktu pembelajaran, (6) pola pembelajarandan sistem
evalusinya, (7) minimnya jumlah buku pelajaran, (8) profesionalitas guru
terhadap pembelajaran sastra.Secara khusus problematik pembelajaran sastra
misalnya problematik pengajaran sastra di Kalimantan Selatan. Sebagian
besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan
sastrawan Kalimantan Selatan kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian
besar siswa tidak mengenal sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan
karya sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus
dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, guru bahasa
dan sastra tidak hanya memperkenalkan sastrawan dari Pulau Jawa, Sumatera, atau
dari pulau lainnya kepada siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar