Sabtu, 07 April 2018

problem pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG MASALAH
Anggapan orang selama ini bahwa pembelajaran bahasa dan sastra indonesia merupakan mata pelajaran yang gampang saja. Bahkan, tidak jarang siswa-siswa menganggap remeh mengenai keberadaan  bahasa dan sastra indonesia sehingga kerap kali mereka tidak terlalu antusias untuk mendalami atau menggeluti ilmu bahasa dan sastra indonesia.
Padahal jika dipelajari secara mendalam, pembelajaran bahasa dan sastra indonesis sebenarnya cukup sulit. Buktinya, banyak siswa-siswa yang memperoleh nilai yang tidak bagus dalam mata pelajaran ini. Bahkan banyak siswa yang tidak lulus ujian bahasa dan sastra indonesia.
Telah sering kali kita mendengar bahwa pembelajaran bahasa sastra disekolah-sekolah selama ini masih “gagal” atau belum memenuhi harapan banyak pihak, baik yang bernada kritik santun maupun tudingan pedas. Kendati pendapat tersebut masih bersifat subjektif, tetapi ada baiknya jika kita mencoba berendah hati untuk menerimanya. Barangkali memang ada banyak masalah yang terus menelingkung dunia pendidikan dan pengajaran kita selama ini, khususnya dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Faktor-faktor apa saja yang kiranya menjadi kendala tersebut, sejauh mana penagaruhnya hingga kini masih merupakan pertanyaan besar bagi kita. Hal-hal itulah yang harus kita identifikasikan agar dapat dibenahi dan diantisipasi sebaik mungkin.
Dalam makalah ini penulis akan menguraikan problem pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guna menciptakan atau mewujudkan suasana pembelajaran bahasa dan sastra indonesia yang inovatif, kreatif dan berdaya guna.




B.       RUMUSAN  MASALAH
Dalam makalah ini penulis membatasi permasalahan, yang bertujuan agar lebih terarah dan tepat sasaran. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
a.        Mengapa pembelajaran bahasa dan satra Indonesia disekolah dianggap telah gagal?
b.        Apa yang menjadi ploblem gagalnya pembelajaran bahasa dan sastra?
c.        Bagaimana solusi mengatasinya?
C.         Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.        Mengetahui sebab pembelajaran bahasa dan sastra indonesia  di sekolah dianggap gagal.
2.        Mengetahui problem gagalnya pembelajaran bahasa dan sastra.
3.        Mengetahui solusi mengatasinya.






BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEMATIK PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

Hubungan bahasa dengan sastra Indonesia pada dasarnya serupa dua sisi mata keping uang logam. Keduanya saling ketergantungan tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya (Prodopo, 1995). Bahasa sendiri tidaklah netral, sebab sebelum jadi analisir dari bangunan karya sastra, bahasa telah memiliki arti  tersendiri (meaning) berdasarkan konvensi bahasa tingkat pertama melalui pembacaan heuristik.

A.       Problematik Pembelajaran Bahasa
Secara rinci problematik pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah disebabkan oleh beberapa factor berikut ini, antara lain adalah sebagai berikut.
1.        Pembelajaran Bahasa Tidak Komunikatif
Sesuai dengan hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa, penekanan utama adalah menciptakan pembelajaran yang komunikatif. Dalam konteks ini pembelajaran harus dilakukan dalam konteks komunikatif. Maksudnya aktivitas siswa difokuskan pada bagaimana siswa menggunakan bahasa dalam berkomunikasi.
Banyak factor yang menyebabkan pembelajaran bahasa tidak berlangsung komunikatif :
1.        rendahnya kompetensi komunikatif guru bahasa Indonesia;
2.        model kelas yang besar menyebabkan aktivitas siswa tidak merata;
3.        interaksi kelas kurang berjalan secara optimal. Selain factor di atas kecenderungan pembelajaran bahasa di sekolah masih didominasi dengan pemberian pengetahuan dari pada kemahiran berbahasa.
Hal di atas sejalan dengan hasil survey Suparno (1997:35) yang menyatakan bahwa: (a) guru masih cenderung memberikan penjelasan tentang bahasa, bukan pelatihan keterampilan berbahasa secara integrative dan komunikatif; (b) sebagian besar guru belum memiliki penguasaan yang memadai tentang taksonomi kemahiran berbahasa Indonesia (c) kelas yang besar berakibat guru mengikuti dinamika kelas bukan guru menciptakan dinamika kelas; (d) guru kurang menggunakan sumber lain selain buku teks; (e) masih banyak guru yang kebakuan bahasanya kurang ideal.

2.        Pembelajaran Bahasa yang Disajikan Secara Diskrit
Pembelajaran bahasa Indonesia masih cenderung dilakukan dengan model diskrit. Keterampilan berbahasa yang idealnya disajikan secara terintegrasi belum dapat diimplementasikan secara optimal di kelas. Aspek-aspek kemahiran berbahasa masih disajikan secara terpisah. Misalnya, guru mengajarkan keterampilan menyimak, seakan-akan guru hanya terfokus pada keterampilan menyimak tersebut. Sebenarnya apabila guru memahami hakikat pembelajaran integrative (tematis) maka pembelajaran bahasa dapat berlangsung secara alamiah sesuai dengan hakikat fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Pola implementasi integrative ini akan mendorong kemahiran berbahasa siswa secara baik.
Untuk memperlancar kegiatan pengajaran bahasa secara integrative diperlukanlah metode atau suatu rumusan sistem cara pengajaran karena metode pengajaran yang bervariasi karena langkah ini merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengajaran. Peran suatu metode sangatlah besar dalam suatu pengajaran dan bersangkutan juga dengan siswa yang menjadi objek pengajaran.
Dalam menerapkan metode pengajaran bahasa ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan terlebih dahulu oleh para pengajar yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.        Pengajaran harus disesuaikan dengan kultur sosial dari objek siswa;
2.        Menggunakan metode yang dianggap mudah oleh para siswa;
3.        Melalui pendekatan yang sifatnya komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar.


3.        Rendahnya Persepsi Siswa terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus memperhatikan karekteristik siswa. Hal ini digunakan untuk melihat kecenderungan dan keinginan siswa dalam pembelajaran bahasa tersevut. Menurut Van Els (1984:27) mengklasifikasikan karakteristik siswa atas empat bagian yakni (1) umur siswa, (2) bakat, (3) pengetahuan siswa, (4) sikap yang meliputi minat, motivasi, dan kepribadian.
 Komponen di atas sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran bahasa harus memperhatikan tingkat perkembangan usia siswa. Hal ini berkaitan dengan pemilihan materi atau contoh-contoh yang diberikan guru. Materi bahasa Indonesia yang secara berjenjang diberikan di tingkat satuan pendidikan menghendaki kemampuan guru menganalisis kebutuhan materi dengan baik. Guru juga harus memahami bakat bahasa dan pengetahuan siswa. Karakteristik yang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah sikap meliputi minat, motivasi, dan kepribadian.
Berdasarkan pengalaman di sekolah, persepsi siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia berada pada taraf yang rendah. Kondisi ini berdampak pada rendahnya motivasi siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal ini berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa.

4.        Pemanfaatan Pokok Sumber Belajar (Buku Teks) dalam Pembelajaran
Karena KTSP dikembangkan dan disusun oleh satuan pendidikan atau sekolah sesuai dengan kondisinya masing-masing, setiap sekolah mempunyai kurikulum yang berbeda. Dengan demikian, bahan ajar yang digunakan juga mempunyai perbedaan. Tidak ada ketentuan tentang buku pelajaran yang dipakai dalam KTSP. Buku yang sudah ada dapat dipakai. Karena pembelajaran didasarkan pada kurikulum yang dikembangkan sekolah, bahan ajar harus disesuaikan dengan kurikulum tersebut. Oleh karena itu, guru dapat mengurangi dan menambah isi buku pelajaran yang digunakan.
Dengan demikian, guru harus mandiri dan kreatif. Guru harus menyeleksi bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan kurikulum sekolahnya.Guru dapat memanfaatkan bahan ajar dari berbagai sumber (surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dsb.). Bahan ajar dikaitkan dengan isu-isu lokal, regional, nasional, dan global agar peserta didik nantinya mempunyai wawasan yang luas dalam memahami dan menanggapi berbagai macam situasi kehidupan.
Untuk pelajaran membaca, misalnya, bahan bacaan dapat diambil dari surat kabar. Di samping surat kabar yang berskala nasional yang banyak menyajikan isu-isu nasional, ada surat kabar lokal yang banyak menyajikan isu-isu daerah. Kedua jenis sumber ini dapat dimanfaatkan. Bahan bacaan yang mengandung muatan nasional dan global dapat diambil dari surat kabar berskala nasional, sedangkan bahan bacaan yang mengandung muatan lokal dapat diambil dari surat kabar daerah. Berdasarkan bahan bacaan ini, guru dapat mengembangkan pembelajaran bahasa Indonesia yang kontekstual. Peserta didik diperkenalkan dengan isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat di sekitarnya dan masyarakat yang tatarannya lebih luas.
Bahan ajar yang beragam jenis dan sumbernya ini tentu juga dapat digunakan untuk pelajaran-pelajaran yang lain (menulis, mendengarkan, dan berbicara). Mengingat pentingnya televisi dan komputer (internet) dalam kehidupan sekarang ini, guru perlu memanfaatkan bahan ajar dari kedua sumber ini. Televisi dan komputer juga dapat dapat dipakai sebagai media pembelajaran yang menarik.
Namun kenyataannya, buku ajar yang digunakan oleh guru merupakan buku ajar yang disusun oleh tim penulis buku yang disetujui oleh Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang digunakan. Bahan dalam buku ajar tidak kontekstual. Untuk itu, idealnya setiap guru atau wilayah harus dapat menyusun buku ajar yang digunakan selingkung dengan mengacu standar isi yang ditetapkan.




5.        Alat Evaluasi yang tidak Relevan
Dalam penyusunan soal tes tertulis, penulis soal harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan soal dilihat dari segi materi, konstruksi, maupun bahasa. Selain itu soal yang dibuat hendaknya menuntut penalaran yang tinggi.
Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara :· mengidentifikasi materi yang dapat mengukur perilaku pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, atau evaluasi. Perilaku ingatan juga diperlukan namun kedudukannya adalah sebagai langkah awal sebelum siswa dapat mengukur perilaku yang disebutkan di atas, membiasakan menulis soal yang mengukur kemampuan berfikir kritis dan mengukur keterampilan pemecahan masalah; dan menyajikan dasar pertanyaan (stimulus) pada setiap pertanyaan, misalnya dalam bentuk ilustrasi/bahan bacaan seperti kasus.
Bila dianalisis soal-soal yang digunakan dalam pembelajaran bahasa ada kecerderungan belum mengukur kemahiran berbahasa khususnya menyimak, berbicara, dan menulis. Kedua kemahiran ini hanya diukur melalui paradigma teoritis. Tes tidak dilakukan untuk mengukur performace kemahiran berbahasa. Keterampilan berbahasa yang tercermin secara penuh hanya kemahiran membaca.
Kecenderungan ini sangat berpengaruh terhadap guru dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembelajaran di kelas. Pada kenyataannya, guru hanya mengajarkan siswa untuk menjawab soal teoritis dan mengabaikan kemahiran berbahasa siswa.

B.       Problematik Pembelajaran Sastra
Secara umum ada delapan faktor yang didefinisikan sebagai momok gagalnya pembelajaran sastra di sekolah-sekolah  , antara lain :
1.        Mitos-Mitos Negatif Di Seputar Dunia Sastra
Mitos-mitos negatif itu antara lain :
1.         Ada yang beranggapan bahwa sastra merupakan dunia para pengkhayal ulung, potret kehidupan para “pekerja” seni, yang seolah-olah dipandang sebagai orang yang kekurangan pekerjaan.
2.        Kehidupan para seniman identik dengan kehidupan yang tidak wajar, bebas, kasar, anarkis, suka mengkritik, berpikiran aneh, berbaju kumal, berambut gondrong, dan sikap eksentrik lainnya.
3.        Dalam hal keilmuan, sastra dipandang hanya menjadi urusan para pakar, kritikus, atau seniman sastra.
4.        Menjadi ahli sastra bukanlah profesi yang menguntungkan secara materiil karena kenyataan memang menunjukan, tidak banyak orang yamg kaya lataranmenjadi ahli seniman sastra.

2.        Dunia Sastra Yang Selalu Terpencil
Pengertian “terpencil” dalam konteks ini tidak hanya mengandaikan lemahnya kegairahan masyarakat untuk membaca dan mendekati cipta sastra, tetapi juga mengindikasikan sikap dan kometmen pemerintah yang cenderung apatis terhadap tumbuh berkembangnya sastra Indonesia – kenyataan seperti ini juga berlaku untuk segala masalah seni budaya pada umumnya. Oleh karena itu, bukanlah suatu kebetulan jika kondisi pembelajaran sastra disekolah-sekolah kita selama ini juga cenderung asal jalan dan kenyataannya memang seperti jalan di tempat.

3.        Teori Sastra Versus Kebebasan Kreatif Seniman
Dalam dunia sastra, adanya konsep licentia poetica seakan telah dipahami sebagai suatu “doktrin” bagi para seniman sastra terutama penyair dalam kebebasan kreatif cipta sastra mereka sehingga ada kecenderungan untuk melanggar batas-batas konvensional, baik konvensi bahasa maupun kovensi sastra.Dengan modal dokrin tersebut, para sastrawan selalu menuntut sifat-sifat kebaruan dan orsinalitas dalam karya-karya mereka. Kondisi semacam itulah yang sangat berpengaruh terhadap pembelajaran sastra di sekolah, terutama jika meyentuh wilayah teoretisnya (aspek kognitif). Akibat selanjutnya, para guru menjadi ragu ketika menjelaskan suatu defenisi, batasan, atau ciri-ciri sastra dan genre sastra tertentu.
Keraguan guru kemudian bersambut pada kebingungan siswa, bahkan mungkin bisa menyurutkan kepercayaan mereka terhadap wawasan keilmuan dan kompetensi sang guru . Jadi, hal ini pun merupakan salah satu problem dalam pengajaran sastra.

4.        Kesalahan Konsep Dalam Pembelajaran Sastra
Kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra ini terjadi aspek afektif kemampuan seseorang bukan karena mengandalkan kemampuan intuitif, imajinatif, dan daya kreatif. Ini terjadi karena guru cenderung mengutamakan pembelajaran sastra dengan meteri-meteri yang bersifat teoritis, hanya menuntut hapalan sejarah sastra serta tokoh-tokoh sastra sastrawan dan karyanya saja.Pembelajaran sastra pada akhirnya derupa dengan pembelajaran geografi, fisika, dan yang lainnya yang menuntut kemampuan kognitif daripada kemampuan afektif siswa.

5.        Keterbatasan Alokasi Waktu Pembelajaran
Proporsi alokasi waktu untuk bidang pembelajaran sastra dinilai tidak seimbang dengan jatah waktu untuk bidang pembelajaran bahasa. Karena pembelajaran sastra sangat luas kajiannya tidak cukup hanya satu atau dua pertemuan dalam satu minggu waktunya pun dibagi lagi dengan pembelajaran bahasa.
Keefisian waktu inilah yang membuat pelajaran sastra tidak berkembang luas, hanya inti-intinya saja yang dibicarakan sehingga siswa tidak paham untuk membuat sebuah karya sastra.

6.        Pola Pembelajaran Dan Sistem Evaluasi
Mulai kurikulum 1975-1984-1994 jika ditelusuri setiap kurikulum hanya mengacu pada bidang pembelajaran bahasa. Baik pendekatan struktural, pragmatik, maupun komunikatif hanya berorentasi pada teori-teori lingustik, sedangkan untuk bidang pembelajaran sastra tampaknya  kurang tersentuh oleh tim perekayasa kurikulum.
Materi pembelajaran sastra masih dominan diisi dengan teori dan sejarah sastra sehingga sistem evaluasi sastra pun lebih banyak menuntut kemampuan ingatan siswa tentangperiodisasi sejarah sastra, nama-nama tokoh sastrawan terkemuka dalam setiap periode atau angkatan, judul-judul buku yang mereka tulis, serta masalah prinsip-prinsip karya sastra. Soal-soal ujian pun cenderung bersifat teoretis, belum mengarah pada peningkatan apreseasi sastra. Jika kondisi ini tetap bertahan,sampai kurikulum-kurikulum yang lebih baru tak akan banyak membawa perubahan yang berarti bagi pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.

7.        Minimnya Jumlah Buku Pelajaran
Dalam konteks ini, persoalan utamayang sering dihadapi oleh guru maupun siswa dalampembelajaran sastra pada umumnya berhubungan dengan pelajaran, baik teks wajibmaupun pelengkap terutama sekolah yang terletak dipedesaan yang sulit untuk menemukan toko buku, perpustakaan umum, maupun mesin fotokopi. Sehingga guru tidak mampu memberikan pengajaran sastra secara apresiatif.

8.        Profesionalitas Guru Terhadap Pembelajaran Sastra
Secara umum, dapat dikatakan bahwa minat dan motivasi rata-rata guru di Indonesia masih sangat kurang terhadap dunia sastra dan pembelajarannya. Oleh karena itu, tidak mengherankanalokasi waktu pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia lebih dominan digunakan untuk bidang pembelajaran bahasa saja. Kendatipun dalam Kurikulum 199,misalnya, telah disarankan agar pembelajaran bahasa dan sastra dapat berjalan secara proporsional, tetapi pada kenyataannya masih banyak guru tidakmengindahkan rambu-rambu tersebut. Masalahnya akan kembali meyangkut sikap, minat, dan motivasi guru itu sendiri terhadap bidang pembelajaran sastra.
Secara khusus problematik pembelajaran sastra misalnya problematik pengajaran sastra di Kalimantan Selatan.Sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra.
Sebenarnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik  internet dan radio. Hal terakhir ini sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada dalam diri siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya sastra mereka secara luas dan kontinyu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.
Selain itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan Kalimantan Selatan kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, guru bahasa dan sastra tidak hanya memperkenalkan sastrawan dari Pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada siswa.
Perlu kita ketahui, bahwa sebagian sastrawan Kalimantan Selatan juga sudah menjadi sastrawan nasional di Indonesia. Sebut saja dua contohnya, Jamal T Suryanata dan Arsyad Indradi. Karya sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di tiap jenjang pendidikan diprovensi ini. Dengan demikian, siswa juga dapat membuat karya sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalimantan Selatan juga ada yang menggunakan Bahasa Banjar dalam berkarya sastra. Bahasa Banjar pun akhirnya bertambah lestari.




BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Secara rinci problematik pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah disebabkan oleh beberapa factor berikut ini, antara lain adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran bahasa tidak komunikatif, (2) pembelajaran bahasa yang disajikan  secara diskrit, (3) rendahnya persipsi siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, (4) pemanfaatan pokok sumber belajar(buku teks) dalam pembelajaran, (5) alat evaluasi tidak relevan.
Sedangkan problematik pembelajaran sastra meliputi : (1) Mitos-mitos negatif tentang dunia sastra, (2) dunia sastra yang selalu terpencil, (3) teori sastra versus kebebasan kreatif seniman, (4) kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra , (5) keterbatasan alokasi waktu pembelajaran, (6) pola pembelajarandan sistem evalusinya, (7) minimnya jumlah buku pelajaran, (8) profesionalitas guru terhadap pembelajaran sastra.Secara khusus problematik pembelajaran sastra misalnya problematik pengajaran sastra di Kalimantan Selatan. Sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan Kalimantan Selatan kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, guru bahasa dan sastra tidak hanya memperkenalkan sastrawan dari Pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada siswa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar