BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Saat
ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada
proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah
konstruktivisme.Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran
membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba
memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah
dan tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berinteraksi langsung kepada benda-benda konkret.
Seorang
guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak
akan berhasilkan menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber
kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah
konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah,
dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruksi
konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka
dari permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep
untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini
bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri,
sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai
pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan
pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu:
1. Apakah
Pengertian teori belajar kontruktivisme?
2.
Bagaimana Konsep Teori Belajar Konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam
Pembelajarandi SD ?
3.
Bagaimana Hakikat Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme terhadap
pembelajaran di SD
C.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui konsep teori belajar kontruktivisme
2.
Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Teori Belajar Konstruktivisme bisa
diaplikasikan kedalam Pembelajaran SD
3.
Untuk mengetahui Bagaimana Hakikat Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme
terhadap pembelajaran di SD
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat
yang dapat diperoleh dari pembahasan ini, adalah diharapkan dapat dijadikan
kontribusi epistemologi untuk para pendidik bahwa siswa itu sebenarnya bukanlah
seperti kertas putih yang kosong di mana guru bisa secara bebas membentuk
pengetahuan siswa, tapi siswa adalah merupakan manusia yang sudah mempunyai
pengetahuan yang mereka peroleh dari pengalaman lingkungan mereka sehari-hari.
Kemudian dapat kita ketahui bahwa teori konstruktivisme yang diprakarsai oleh
Ivan Petrovich Pavlov merupakan sebuah hasil karya nyata bahwa teori belajar
beliau yang diterapkan kedalam metodologi pembelajaran mendapatkan respons
positif oleh para ahli psikologi di bidang sains.Oleh karenanya penulis sengaja
mengaplikasikannya atau menerapkannya di dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori
belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran
Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah
laku pada pelajar.Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan
tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu.Hal ini,
kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan
oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam
diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema yang akan
menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, difahami oleh manusia.
Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima begitu juga sebaliknya
dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan
pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar
berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat
pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi
perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. [1]
Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa
pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan
adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif
saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual
melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa
terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan
sosial menjadi sangat penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman
tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar
sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi
dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara
belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan
skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan
yang bersifat subyektif.
Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai
pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna
dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami
hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus
respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia
membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Von Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme
adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita
adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh
struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya.[2]
Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan
dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap
pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik
akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan
pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui berinteraksi sosial
dengan peserta didik lain atau dengan gurunya.[3] Konsep teori belajar
konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar
merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses
menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk
membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan
pengetahuan.
Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang
mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel
menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami
dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan
pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk
mempelajari sesuatu yang baru.Pada saat tertentu guru membiarkan anak
mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup
memberi semangat dan arahan saja.
Pertama,
fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik, termasuk dalam masalah
pendidikan.
Kedua,
teori pendidikan dan teori pada umumnya selalu ketinggalan oleh kebutuhan
masyarakat.Sebab pada umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan
masyarakat pada tempat dan waktu tertentu.Karena waktu berubah dan tempat
selalu berubah, kebutuhan masyarakat juga berubah.Bahkan perubahan tempat dan
waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia.Karena adanya perubahan itu,
masyarakat merasa tidak puas dengan teori pendidikan yang ada.
Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup.Pada suatu
waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya
karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya.
Suatu
ketika ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula
pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya.
<BR />
<BR />
<BR />
<BR />
<BR />
<BR />
<BR />
<BR />
B. Konsep Teori Belajar Konstruktivisme menurut
Para Ahli
Saat ini, salah satu teori belajar yang banyak
dipakai dalam proses pembelajaran adalah konstruktivisme. Di antara berbagai
variasinya, terdapat dua jenis konstruktivisme yang paling menonjol yaitu
konstruktivisme sosial (social constructivism) yang sering dikatakan sebagai
kelanjutan dari hasil kerja Vygotsky serta konstruktivisme kognitif (cognitive
constructivism) yang dipercaya berakar pada hasil kerja Piaget.[3]
1. Teori Belajar Konstruktivisme Kognitif menurut
Jean Piaget
Teori belajar konstruktivisme kognitif disumbangkan
oleh Jean Piaget, yang merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai
pelopor konstruktivisme.Yang mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam
pikiran anak. Pandangan-pandangan Jean Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss
(1896-1980), percaya bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.
Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi
dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari
lingkungan.[4]
Belajar menurut teori belajar konstruktivistik
bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan
melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain
seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan
setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun
pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh
setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih
lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.[5] Karena menurut pendekatan
konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang
sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap
obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang
sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya.
Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang
yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat
dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada
pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru
bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu
kepada siswa, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh
siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.[6]
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan
tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan.Bahkan,
perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif
memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan
kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan
ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.[7] Dari pandangan Piaget tentang
tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara
maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak.
Pembentukan pengetahuan menurut Jean Piaget
memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam
interaksinya dengan lingkungan.Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek
menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh
realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek
itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses
penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.[8]
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai
berikut:
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif
yang kemudian dinamakan skema (schema)[9]. Skema terbentuk karena
pengalaman.Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang
sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya,
yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat
pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang
berkaki empat dan binatang berkaki dua.Semakin dewasa anak, maka semakin
sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan
melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi
adalah pemaduan data baru dengan struktur kognitif yang ada.[10] Atau proses
kognitif di mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman
baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi
dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini
berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skema
melainkan perkembangan skema. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.
Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif
terhadap situasi baru.[11] Dalam perjumpaan individu dengan lingkungan,
akomodasi menyertai asimilasi. Terkadang, ketika dalam menghadapi rangsangan
atau pengalaman baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang
baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama
sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang
akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu
kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi
seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka
terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu
maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami
atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses
terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang
(disequilibrium-equilibrium).[12]
Sebagai Contoh, seorang anak yang merasa sakit
karena terpercik api. Berdasarkan pengalamannya terbentuk skema kognitif pada
diri anak tentang ”api”, bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena
itu harus dihindari. Dengan demikian ketika ia melihat api, secara refleks ia
akan menghindar. Semakin dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula.
Ketika anak melihat ibunya memasak dengan menggunakan api, atau ketika ayahnya
merokok; maka skema kognitif tersebut akan disempurnakan, bahwa api tidak harus
dihindari akan tetapi dimanfaatkan. Ketika anak melihat banyak pabrik atau
industri memerlukan api, kendaraan memerlukan api, maka skema kognitif anak
semakin berkembang/sempurna menjadi api sangat dibutuhkan untuk kehidupan
manusia.
Skema ini membentuk pandangan (persepsi) peserta
didik terhadap sesuatu. Ketika peserta didik menerima informasi, maka akan
disesuaikan dengan persepsi yang yang dimiliki peserta didik. Proses penyesuaian
ini melibatkan proses asimilasi dan akomodasi. Melalui proses pengulangan dan
pemantapan, skema membentuk konsep.
Dari Penjelasan di atas, menunjukkan penekanan
Piaget terhadap pemahaman yang dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang
berhubungan dengan logika dan konstruksi pengetahuan universal yang tidak dapat
dipelajari secara langsung dari lingkungan.Pengetahuan seperti itu berasal dari
hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif dan berpikir serta bukan
berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya. Dengan ini, piaget
menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti tingkat
kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri,
dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan
kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan
strategi kognitif, dan emosinya.[13]
Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini
adalah belajar pada siswa tidak harus terjadi hanya karena seorang guru
mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya bahwa belajar terjadi karena siswa
memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila
siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini
tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya
lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi,
melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya
dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih membantu
siswa dalam belajar dan memahami sesuatu.
2.Teori Belajar Konstruktivisme Sosial menurut Lev
Vygotsky
Secara umum, pendekatan konstruktivisme sosial
menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu
dibangun dan dikontruksi secara bersama (mutual). Keterlibatan dengan orang
lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman
mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka
berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Dengan cara ini, pengalaman
dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran
murid.[14]
Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual
dari individu ke kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas
sosiokultural.Dalam pendekatan konstruktivisme Piaget, murid mengkonstruksi
pengetahuan dengan menstransformasikan, mengorganisasikan, dan mengoraginsasi
pengetahuan sebelumnya. Konstruktivisme Vygotsky menekankan bahwa murid
mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari
pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang mencakup
bahasa, keyakinan, dan keahlian/ketrampilan.[15] Maka bagi Vygotsky, ada dua
prinsip penting berkenaan dengan teori konstruktivisme sosialnya, yaitu:
a.
Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai
proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi
dan pengetahuan,
b.
Zona of proximal development. Pendidik sebagai mediator memiliki peran
mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian dan kompetensi.
Konstruktivisme Vygoskian memandang bahwa
pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan
tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan
memulai adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian
itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual
yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para
konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar
gagasan antar individual.
Salah satu prinsip kunci yang diturunkan teori
Konstruktivisme sosial adalah penekanan pada hakikat sosial dari
pembelajaran.Vygotsky mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.Berdasarkan teori ini
dikembangkanlah pembelajaran kooperatif, yaitu siswa lebih mudah menemukan dan
memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah
tersebut dengan temannya. [16]
Selain itu, Vygotsky mengemukakan tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) Siswa
mencapai keberhasilan dengan baik, (2) Siswa mencapai keberhasilan dengan
bantuan, (3) Siswa gagal meraih keberhasilan. Jika siswa tidak mampu memecahkan
masalahnya, maka guru/pendidik harus menggunakan scaffolding.Scaffolding,
berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama
tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan
pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke
dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Teori Konstruktivisme Vygotsky yang lain mengatakan
bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah
perkembangan terdekat atau zone of proximal development siswa. Daerah
perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat
perkembangan seseorang saat ini. Tingkat perkembangan seseorang saat ini adalah
tingkat pengetahuan awal atau pengetahuan prasyarat itu telah dikuasai, maka
kemungkinan sekali akan terjadi pembelajaran bermakna.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan
pada hakikat pembelajaran sosiakultural.Inti teori Vygotsky adalah menekankan
interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran.Menurut teori Vygotsky, fungsi
kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam
konteks budaya.Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa
bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut
masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of
proximal development mereka.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila
seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam
percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar
pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik
tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain.
Karena menurut teori ini bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik.Penemuan atau discovery dalam belajar
lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan
lain, mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara
aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam
belajar.
C. Aplikasi Konsep Teori Belajar Konstruktivisme
terhadap Pembelajaran SD
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori
belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari
pikiran guru ke pikiran siswa.Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil
yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Akan tetapi siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik
atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil
belajarnya.Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.
Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif siswa.
Dalam hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori
Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa
untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan
pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus
dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa
mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna.Jadi, dalam
konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive
habits of mind.Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan
kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa memiliki
kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal tujuan
belajar dapat tercapai.[5]
Selain itu, Nickson mengatakan bahwa pembelajaran
dalam pandangan konstruktivime adalah membantu siswa untuk membangun
konsep-konsep dalam belajar dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi sehingga konsep itu terbangun kemabli melalui transformasi
informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk sebagai salah satu paradigma
dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses belajar. Peran guru bukan
pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk
membentuk pengetahuan.[6]
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker mengemukakan
tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.Pertama
adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.Kedua
adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna.Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang
diterima.
Wheatley mendukung pendapat di atas dengan
mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstrukltivisme.Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.Kedua, fungsi kognisi bersifat
adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki
anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana
pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah
gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang
perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury mengemukakan
sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
1.
Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka
miliki,
2.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
3.
Strategi siswa lebih bernilai,
4.
Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan
ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar
konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa
sendiri
2.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
3.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, dalam hal ini
pendidik atau guru pada bidang studi fiqh dapat memberikan kesempatan kepada
peserta didik dalam mencoba terhadap gagasan yang baru.
4.
Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5.
Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
6.
Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.[7]
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih
menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka.
Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan
dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Oleh
Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat
temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi.Mengajar berarti menata lingkungan agar si siswa termotivasi dalam
menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa
akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Atas
dasar ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi pembelajaran
konstruktivisme adalah pengendalian, yang meliputi:
1.
Menumbuhkan
kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan
bertindak;
2.
Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.
Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa
mempunyai peluang optimal untuk berlatih.[8]
Ada beberapa
ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:
·
Mencari
tahu dan menghargai titik pandang/pendapat siswa
·
Pembelajaran
dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa
·
Memunculkan
masalah yang relevan dengan siswa .
·
Menyusun
pembelajaran yang menantang dugaan siswa
·
Menilai
hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari
Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus
belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh
dengan pengalaman/pengetahuan lama yang mereka miliki
Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan.
Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara
terintegrasi
Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama,
tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa
untuk mengingat pelajaran lebih lama
Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada
siswa.Pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak
terlepas dengan apa yang dialami langsung oleh siswa
Selanjutnya
ada empat komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
1.
Pengetahuan Awal (Prerequisite),
2.
Fakta Dan Masalah,
3.
Sistematika Berfikir,
4.
Kemauan Dan Keberanian.
D. Hakikat Pembelajaran Teori Belajar
Konstruktivisme terhadap pembelajaran di SD
Dalam belajar sesuatu peserta didik telah mempunyai
prakonsep berdasarkan pengalaman yang telah di perolehnya.Untuk itu, guru perlu
mencermati prakonsep ini dalam menanamkan konsep-konsep baru. Apabila prakonsep
ini tidak diperhatikan, kemungkinan akan terjadi miskonsepsi atau konsep yang
salah. Apabila peserta didik mempunyai miskonsepsi yang tidak dikoreksi atau
dibiarkan, maka akan menyulitkan peserta didik untuk belajar sesuatu secara
benar.
Dalam
menerapkan teori kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model
pembelajaran yang melibatkan beberapa tahap,[9] yaitu:
1.
Pengenalan
2.
Pembelajaran kompetensi
3.
Pemulihan
4.
Pendalaman
5.
Pengayaan
Tahap pengenalan merupakan pemberian hal-hal yang
konkrit dan mudah dengan contoh-contoh sederhana yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari.Pada tahap ini, guru perlu mencermati melalui penilaian prakonsep
atau kompetensi awal yang dimiliki peserta didik untuk maju ke tahap
berikutnya.Tahap pembelajaran kompetensi merupakan tahap di mana peserta didik
mulai beranjak dari mengenali kompetensi baru ke menguasai kompetensi dasar.
Hasil penilaian akan menunjukkan apakah peserta didik perlu diberi tahapan pemulihan,
yaitu tahap di mana peserta didik memulihkan prakonsep menjadi suatu
konsep/kompetensi secara benar.
Bila peserta didik telah menguasai kompetensi
secara benar, guru dapat menilai sejauh mana minat, potensi, dan kebutuhan
dalam penguasaan kompetensi dasar.Apabila peserta didik cukup berminat dan
kompetensi dasar telah dikuasai secara tuntas, tahap pemulihan dapat dilewati
dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap pendalaman.Apabila tahap pendalaman
telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi berpikir dan bertindak sebagai
perwujudan kompetensi.Selanjutnya, dapat diberikan tahap pengayaan agar peserta
didik memperoleh variasi pengalaman belajar.Berbagai latihan dapat digunakan
untuk mendalami atau memperkaya kompetensi.
Penilaian yang dilakukan menunjukkan apakah suatu
kompetensi telah tuntas dikuasai atau belum.Dari hasil penilaian dapat
diketahui jenis-jenis latihan yang perlu diberikan kepada peserta didik sebagai
pemulihan, pendalaman, dan pengayaan.
Perlu kami pertegas, bahwa strategi pembelajaran
perlu mengikuti kaedah pedagogik, yaitu pembelajaran diawali dari konkret ke
abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks, dan dari yang mudah ke sulit.
Peserta didik perlu belajar secara aktif dengan berbagai cara untuk
mengkontruksi atau membangun pengetahuannya. Suatu rumus, konsep, atau prinsip
dalam mata pelajarn sebaiknya dibangn siswa dalam bimbingan guru.Strategi
pembelajaran perlu mengkondisikan peserta didik untuk menemukan pengetahuan
sehingga mereka terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Studi ini memiliki implikasi teoretis dan praktis
tentang pengembangan model belajar konstruktivisme.Secara teoretik, studi ini
berimplikasi bahwa siswa seharusnya dipandang sebagai individu yang memiliki potensi
yang unik untuk berkembang, bukan sebagai tong kosong yang hanya menunggu untuk
diisi oleh orang dewasa (guru). Secara praktis, studi ini berimplikasi bahwa
model belajar konstruktivisme dibutuhkan untuk mengembangkan kecakapan
pribadi-sosial siswa dalam mengembangkan potensi kreatifnya melalui
pembelajaran di sekolah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah
ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses
dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi
pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi
pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang
tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
B. Saran
Sebaiknya siswalah yang mempunyai peranan penting
dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana
diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru
memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru
membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang
baru.Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen
sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
Daftar Pustaka dan Footnote
[1]Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 23.
[2]Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004), h. 53.
[3]Liu, Charlotte H., and Matthews, Robert. (2005). Vygotsky’s philosophy: Constructivism and its criticisms examined. International Education Journal.6 (3).hal 386-399.
[4]Bambang Riadi, Teori Belajar Konstruktivisme dari Jean Piaget, dalam http/www Teori Belajar Konstruktivisme. Diakses pada hari Kamis 01 Desember 2011.
[5]Ibid.
[6]Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 56-57.
[7]Hamzah, Teori Belajar Konstruktivisme, dalam http/www. Teori Belajar Kostruktivisme. Diakses Pada Hari Kamis 01 Desember 2011.
[8]Bambang, Teori Belajar, dalam http/www.
[9]Skema merupakan sebuah potensi yang dimiliki oleh seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dalam merespon lingkungan.
[10]Margaret E. Bell Gredler, Buku Petunjuk Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta: Depdiknas, 1988), h. 257.
[11]Ibid.
[12]Untuk jelasnya lihat, Ibid, h. 259-260.
[13]Bambang, Teori Belajar, dalam http/www.
[14]John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 390.
[15]Ibid.
[16]Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Profresif, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 112.
[17]Sukardjo & Ukim Komaruddin, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 55-56.
[18]Suparno, Filsafat Konstruktivisme, h. 23.
[19]Asri, Belajar, h. 59.
[20]Ella, Kurikulum, h. 109-110.
http://indrierb.blogspot.co.id/2014/01/teori-belajar-konstruktivisme-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar