Sabtu, 07 April 2018

FILSAFAT

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan-Nya sehingga tugas Makalah yang berjudul “Ruang Lingkup Filsafat” ini dapat kami selesaikan. Makalah ini kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas.

Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terimakasih yang dalam kepada semua pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi terwujudnya makalah ini. Akhirnya saran dan kritik pembaca yang dimaksud untuk mewujudkan kesempurnaan makalah ini penulis sangat hargai.















BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Banyak diantara kita terutama mahasiswa UIN dan IAIN pernah mendengar kata “Filsafat”, akan tetapi banyak pula dari kita yang hanya sekedar tau filsafat di permukaanya saja. Karena sebagian orang menganggap pembelajaran filsafat ataupun materi pembahasan tentang filsafat kurang menarik untuk dipelajari. Padahal filsafat adalah ilmu yang dapat menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan objektif dalam melihat dan memecahkan beragam problema kehidupan.
Karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas secara jelas dan padat mengenai filsafat.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa saja ruang lingkup filsafat?
2.      Metode apa saja yang digunakan dalam filsafat?
3.      Apa saja objek filsafat?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui dan memahami ruang lingkup filsafat
2.      Mengetahui dan memahami metode yang digunakan dalam filsafat
3.      Mengetahui dan memahami objek filsafat






BAB II
PEMBAHASAN
A.   Ruang Lingkup Filsafat
Filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang mencakup ilmu-ilmu khusus. Dalam perkembangannya ilmu-ilmu khusus itu memisahkan diri dari induknya yakni filsafat.
Dalam sejarah ilmu, ilmu khusus yang pertama kali memisahkan diri dari filsafat adalah matematika yaitu pada zaman Renaissance (abad XVI.M) yang kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lainnya.
Filsafat sebagai induk ilmu-ilmu lainnya masih terasa pengaruhnya. Setelah ilmu filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu lainnya, ternyata filsafat tidak mati tetapi hidup dengan corak tersendiri yakni sebagai ilmu yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
Ruang lingkup fisafat adalah segala sesuatu lapangan pemikiran manusia yang amat luas (komprehensif). Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar ada (nyata), baik material konkrit maupun material abstrak (tidak terlihat). Jadi obyek filsafat itu tidak terbatas. (Noor Syam,1988:22).SS
Adapun menurut pendapat para ahli tentang ruang lingkup filsafat :
1.                       Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya.
2.                       Tentang ada dan tidak ada.
3.                       Tentang alam, dunia dan seisinya.
4.                       Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.
5.                       Hakikat manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk lainnya.
6.                       Tuhan tidak dikecualikan.

B.  Metode Filsafat
Ada tiga metode berfikir yang digunakan untuk memecahkan problema-problema filsafat, yaitu: metode deduksi, induksi, dan dialektika.
1.    Metode Deduksi
Adalah suatu metode berpikir dimana suatu kesimpulan ditarik dari prinsip-prinsip umum dan kemudia diterapkan kepada semua yang bersifat khusus.
Contohnya sebagai berikut:
·  Semua manusia adalah fana (prinsip umum)
·  Semua raja adalah manusia (prinsip khusus)
·  Karena itu semua raja adalah fana (kesimpulan)
2.    Metode Induksi
Adalah suatu metode berpikir dimana suatu kesimpulan ditarik dari prinsip khusus kemudian diterapkan kepada sesuatu yang bersifat umum.
Contohnya sebagai berikut:
·  Bagus adalah manusia (prinsip khusus)
·  Dia akan mati (prinsip umum)
·  Seluruh manusia akan mati (kesimpulan)
3.    Metode Dialektik
 Yaitu suatu cara berpikir dimana suatu kesimpulan diperoleh melalui tiga jenjang penalaran: tesis, antitesis dan sintesis. Metode ini berusaha untuk mengembangkan suatu contoh argument yang didalamnya terjalin implikasi bermacam-macam proses (sikap) yang saling mempengaruhi argument tersebut akan menunjukkan bahwa tiap proses tidak menyajikan pemahaman yang sempurna tentang kebenaran. Dengan demikian, timbullah pandangan dan alternatif yang baru. Pada setiap tahap dari dialektik ini kita memasuki lebih dalam pada problema asli. Dan dengan demikian ada kemungkinan untuk mendekati kebenaran.
Hegel menganggap bahwa metode dialektik merupakan metode berpikir yang benar, ia maksudkan ialah hal-hal yang sebenarnya sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari kerap kali kita mengalami perlunya mendamaikan hal-hal yang bertentangan. Tidak jarang terjadi bahwa kita mesti mengusahakan kompromi antara beberapa pandapat atau keadaan yang berlawanan satu sama lain. Nah, maksud Hegel mirip dengan pengalaman kata itu. Hegel sangat mengagumi filsuf yunani Herakleitos yang mengatakan bahwa “pertentangan adalah bapak segala sesuatu”.
Proses dialektik selalu tradisi dari tiga fase. Fase pertama disebut tesis yang menampilkan “lawan” dari fase kedua yaitu antitesis. Akhirnya, disebut fase ketiga disebut sintesis, yang mendamaikan antara tesis dan antitesis yang saling berlawanan. Sintesis yang telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-duanya dinamakan menjadi sintesis baru. Demikian selanjutnya setiap sintesis dapat menjadi tesis.
Contoh tesis, antitesis dan sintesis.
· Dalam keluarga, suami istri adalah dua makhluk yang berlainan yang dapat berupa tesis dan antitesis. Bagi Suami, anak merupakan bagian dari dirinya sendiri. Begitu juga sang Istri, dengan demikian si anak merupakan sintesis bagi Suami Istri tadi.
 Metode yang digunakan untuk memecahkan problem-problem filsafat, berbeda dengan metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat. Ada tiga macam metode untuk mempelajari filsafat, diantaranya:
4.    Metode Sistematis
Metode ini bertujuan agar perhatian pelajar/ mahasiswa terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh atau pada metode.
 Misalnya, mula-mula pelajar atau mahasiswa menghadapi teori pengetahuan yang berdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu mempelajari teori hakikat, teori nilai atau filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat untuk membahas setiap cabang atau subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas.
5.    Metode Histories
 Metode ini digunakan untuk mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya dapat dibicarakan dengan tokoh-tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Misal dimulai dari pembicarakan filsafat thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat,  maupun dalam teori nilai. Lantas dilanjutkan dalam membicarakan Anaxr mandios Socrates, lalu Rousseau Kant dan seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer.
6.    Metode kritis
 Metode ini digunakan oleh orang-orang yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Sebaiknya metode ini digunakan pada tingkat sarjana.                                 Disini gajaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematis ataupun histories. Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba mengajukan kritikannya, kritik itu mungkin dalam bentuk menentang. Dapat juga berupa dukungan. Ia mungkin mengkritik mendapatkan pendapatnya sendiri ataupun menggunakan pendapat filsuf lain. Jadi jelas tatkala memulai pelajaran amat diperlukan belajar filsafat dengan metode ini.

C.    Cabang Filsafat
Jika kita mengamati karya-karya besar filsuf, seperti aristoteles (384-322 SM) dan Imanuel Kant (1724-1804), ada tiga tema besar yang menjadi fokus kajian dalam karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan pengetahuan. Ketiga tema besar tersebut masing-masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat. Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian aksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistimologi.
Namun ada juga yang membagi cabang filsafat berdasarkan karakteristik objeknya. Berdasarkan karakteristik objeknya filsafat dibagi dua, yaitu :
1. filsafat umum/murni
a. Metafisika, objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang ada.
b  Epistemologi. Objeknya adalah pengetahuan/ kenyataan
c.  Logika. Merupakan studi penyusunan argumen-argumen dan penarikan kesimpulan yang valid. Namun ada juga yang  memasukkan Logika ke dalam kajian epistimologi.
d. Aksiologi. Objek kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan.
2  Filsafat Khusus/Terapan, yang lebih mengkaji pada salah satu aspek kehidupan. Seperti misalnya filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat bahasa, dan lain sebagainya.
Pembagian cabang-cabang filsafat di atas tidak kaku. Seorang filsuf yang mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan, kondisi masyarakat, bahkan etika. Ini misalnya tampak dari filsafat Heidegger. Dalam bukunya yang terkenal, Being and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan memahami “ada”. Akan tetapi dia mengakui bahwa “ada” hanya dapat ditemukan pada eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam bukunya itu dia membahas mengenai keotentikan, kecemasan, dan pengalamn-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.
1. Metafisika
Koestenbaum (1968) mendefinisikan metafisika sebagai studi mengenai karakteristik-karakteristik yang sangat umum dan paling dasar dari kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Metafisika menguji aspek-aspek kenyataan seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada (being), eksistensi, perubahan, substansi dan sifat, aktual dan potensial, dan lain sebagainya.
Metafisika pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan (appearance) dan kenyataan (reality). Ada sejumlah aliran yang mencoba mengungkap hakikat kenyataan di balik penampakan tersebut. Misalnya aliran naturalism dan materialism percaya bahwa kenyataan paling dasar pada prinsipnya sama dengan peristiwa material dan natural.
Sejak zaman Yunani kuno sebagian besar filsafat diwarnai oleh pemikiran-pemikiran metafisik, kendati cukup banyak juga filsuf yang meragukan dan menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika beralasan bahwa metafisika tidak mungkin karena melampaui batas-batas kemampuan indera untuk membuktikan kebenaran-kebenarannya. Kebenaran-kebenaran yang dikemukakan oleh metafisika terlalu luas dan spekulatif, sehingga tidak dapat dibuktikan dan diukur kebenarannya. Dalam perkembangannya, metafisika kemudian dibagi lagi menjadi tiga sub cabanga, yaitu :
1. Ontology, mengkaji persoalan-persoalan tentang ada (dan tiada)
2. Kosmologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang alam semesta, asal-usul, dan unsur-unsur yang membentuk alam semesta
3. Humanologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan antara jiwa dan tubuh, kebebasan dan keterbatasan manusia
4. Teologi, mengkaji persoalan-persoalan tentang Tuhan/agama

2. Epistemologi dan Logika
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori.dengan demikian epistemology adalah suatu kajian atau teori filsafat mengenai esensi pengetahuan.
Menurut Koestenbaum (1968), secara umum epistemology berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apakah pengetahuan?”. Tetapi secara spesifik epistemology berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks, seperti hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang melampaui panca indera, status ontology dari teori-teori ilmiah, hubungan antara konsep-konsep atau kata-kata yang bersifat umum dengan objek-objek yang ditunjuk oleh konsep-konsep atau kata-kata tersebut, dan analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri.
Menurut J.F. Ferrier, epistemology pada dasarnya berkenaan dengan pengujian filsafati terhadap batas-batas, sumber-sumber, struktur-struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
Logika sebagai salah satu cabang filsafat pada dasarnya adalah cara untuk menarik kesimpulan yang valid. Secara luas logika dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berfikir  secara sahih. Ada banyak cara menarik kesimpulan. Namun secara garis besar, semua itu didigolongkan menjadi dua cara yaitu logika induktif dan logika deduktif.
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif berhubungan dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus atau individual. Baik logika induktif maupun logika deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.
3. Aksiologi
Aksiologi merupakan kajian filsafat mengenai nilai. Nilai sendiri adalah suatu kualitas yang kita berikan kepada sesuatu objek sehingga sesuatu itu dianggap bernilai atau tidak bernilai. Pada masa kini objeknya lebih banyak berupa sains dan teknologi.  Peradaban manusia masa kini sangat bergantung pada ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Berkat kemajuan pada kedua bidang ini pemenuhan kebutuhan manusia dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Banyak sekali penemuan-penemuan baru yang amat membantu kehidupan manusia, seperti misalnya penemuan dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Namun di pihak lain, perkembangan-perkembangan tersebut mengesampingkan factor manusia. Di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia, namun sering kali kini yang terjadi adalah sebaliknya. Manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi manusia, melainkan dia ada bertujuan untuk eksistensinya sendiri. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri.
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang ada. Masalah nilai moral tidak bisa terlepas dari tekat manusia untuk menemukan kebenaran. Sebab untuk menemukan kebenaran dan kemudian terutama untuk mempertahankannya, diperlukan keberanian moral.
Dihadapkan dengan  masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersikap netral terhadap nilai-nilai, bik itu secara ontologis, mau pun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain dalam mempergunakannya, apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan.
Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Nilai yang menjadi kajian aksiologi ada dua, itu sebabnya aksiologi dibagi menjadi dua sub cabang yaitu :
1. Etika. Kajian filsafat mengenai baik dan buruk, lebih kepada bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku, apa makna etika atau moralitas dalam kehidupan manusia.
2.  Estetika. Nilai yang berhubungan dengan keindahan (indah dan buruk). Mengkaji mengenai keindahan, kesenian, kesenangan yang disebabkan oleh keindahan.

D.      OBJEK FILSAFAT
Isi filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan. Ada dua objek apa yang dipikirkan. Ada dua objek dalam filsafat diantaranya:
1.    Objek Material
Objek material filsafat yaitu segala yang ada dan mungkin ada, jadi luas sekali dan tidak terbatas.
Objek materia antara filsafat dengan sains (ilmu pengetahuan) sama, yaitu sama-sama menyelidiki segala yang ada dan mungkin ada. Tapi ada dua hal yang membedakan diantaranya:
a.    Sains menyelidiki objek material yang empiris. Sedangkan filsafat menyelidiki bagian yang abstraknya.
b.   Ada objek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains seperti tuhan, hari akhir (hal-hal yang tidak empiris). Jadi objek material filsafat lebih luas daripada sains.
2. Objek Formal (sikap penyelidikan)
Objek forma filsafat adalah penyelidikan yang mendalam atau ingin mengetahui bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris.
Objek ini hanya dimiliki oleh filsafat saja. Sains tidak mempunyai objek forma. Karena objek sains hanya terbatas pada sesuatu yang bisa diselidiki secara ilmiah saja, dan jika tidak dapat diselidiki maka akan terhenti sampai disitu.
 Tetapi filsafat tidaklah demikian, filsafat akan terus bekerja hingga permasalahannya dapat ditemukan sampai akar-akarnya.

problem pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG MASALAH
Anggapan orang selama ini bahwa pembelajaran bahasa dan sastra indonesia merupakan mata pelajaran yang gampang saja. Bahkan, tidak jarang siswa-siswa menganggap remeh mengenai keberadaan  bahasa dan sastra indonesia sehingga kerap kali mereka tidak terlalu antusias untuk mendalami atau menggeluti ilmu bahasa dan sastra indonesia.
Padahal jika dipelajari secara mendalam, pembelajaran bahasa dan sastra indonesis sebenarnya cukup sulit. Buktinya, banyak siswa-siswa yang memperoleh nilai yang tidak bagus dalam mata pelajaran ini. Bahkan banyak siswa yang tidak lulus ujian bahasa dan sastra indonesia.
Telah sering kali kita mendengar bahwa pembelajaran bahasa sastra disekolah-sekolah selama ini masih “gagal” atau belum memenuhi harapan banyak pihak, baik yang bernada kritik santun maupun tudingan pedas. Kendati pendapat tersebut masih bersifat subjektif, tetapi ada baiknya jika kita mencoba berendah hati untuk menerimanya. Barangkali memang ada banyak masalah yang terus menelingkung dunia pendidikan dan pengajaran kita selama ini, khususnya dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Faktor-faktor apa saja yang kiranya menjadi kendala tersebut, sejauh mana penagaruhnya hingga kini masih merupakan pertanyaan besar bagi kita. Hal-hal itulah yang harus kita identifikasikan agar dapat dibenahi dan diantisipasi sebaik mungkin.
Dalam makalah ini penulis akan menguraikan problem pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guna menciptakan atau mewujudkan suasana pembelajaran bahasa dan sastra indonesia yang inovatif, kreatif dan berdaya guna.




B.       RUMUSAN  MASALAH
Dalam makalah ini penulis membatasi permasalahan, yang bertujuan agar lebih terarah dan tepat sasaran. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
a.        Mengapa pembelajaran bahasa dan satra Indonesia disekolah dianggap telah gagal?
b.        Apa yang menjadi ploblem gagalnya pembelajaran bahasa dan sastra?
c.        Bagaimana solusi mengatasinya?
C.         Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.        Mengetahui sebab pembelajaran bahasa dan sastra indonesia  di sekolah dianggap gagal.
2.        Mengetahui problem gagalnya pembelajaran bahasa dan sastra.
3.        Mengetahui solusi mengatasinya.






BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEMATIK PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

Hubungan bahasa dengan sastra Indonesia pada dasarnya serupa dua sisi mata keping uang logam. Keduanya saling ketergantungan tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya (Prodopo, 1995). Bahasa sendiri tidaklah netral, sebab sebelum jadi analisir dari bangunan karya sastra, bahasa telah memiliki arti  tersendiri (meaning) berdasarkan konvensi bahasa tingkat pertama melalui pembacaan heuristik.

A.       Problematik Pembelajaran Bahasa
Secara rinci problematik pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah disebabkan oleh beberapa factor berikut ini, antara lain adalah sebagai berikut.
1.        Pembelajaran Bahasa Tidak Komunikatif
Sesuai dengan hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa, penekanan utama adalah menciptakan pembelajaran yang komunikatif. Dalam konteks ini pembelajaran harus dilakukan dalam konteks komunikatif. Maksudnya aktivitas siswa difokuskan pada bagaimana siswa menggunakan bahasa dalam berkomunikasi.
Banyak factor yang menyebabkan pembelajaran bahasa tidak berlangsung komunikatif :
1.        rendahnya kompetensi komunikatif guru bahasa Indonesia;
2.        model kelas yang besar menyebabkan aktivitas siswa tidak merata;
3.        interaksi kelas kurang berjalan secara optimal. Selain factor di atas kecenderungan pembelajaran bahasa di sekolah masih didominasi dengan pemberian pengetahuan dari pada kemahiran berbahasa.
Hal di atas sejalan dengan hasil survey Suparno (1997:35) yang menyatakan bahwa: (a) guru masih cenderung memberikan penjelasan tentang bahasa, bukan pelatihan keterampilan berbahasa secara integrative dan komunikatif; (b) sebagian besar guru belum memiliki penguasaan yang memadai tentang taksonomi kemahiran berbahasa Indonesia (c) kelas yang besar berakibat guru mengikuti dinamika kelas bukan guru menciptakan dinamika kelas; (d) guru kurang menggunakan sumber lain selain buku teks; (e) masih banyak guru yang kebakuan bahasanya kurang ideal.

2.        Pembelajaran Bahasa yang Disajikan Secara Diskrit
Pembelajaran bahasa Indonesia masih cenderung dilakukan dengan model diskrit. Keterampilan berbahasa yang idealnya disajikan secara terintegrasi belum dapat diimplementasikan secara optimal di kelas. Aspek-aspek kemahiran berbahasa masih disajikan secara terpisah. Misalnya, guru mengajarkan keterampilan menyimak, seakan-akan guru hanya terfokus pada keterampilan menyimak tersebut. Sebenarnya apabila guru memahami hakikat pembelajaran integrative (tematis) maka pembelajaran bahasa dapat berlangsung secara alamiah sesuai dengan hakikat fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Pola implementasi integrative ini akan mendorong kemahiran berbahasa siswa secara baik.
Untuk memperlancar kegiatan pengajaran bahasa secara integrative diperlukanlah metode atau suatu rumusan sistem cara pengajaran karena metode pengajaran yang bervariasi karena langkah ini merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengajaran. Peran suatu metode sangatlah besar dalam suatu pengajaran dan bersangkutan juga dengan siswa yang menjadi objek pengajaran.
Dalam menerapkan metode pengajaran bahasa ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan terlebih dahulu oleh para pengajar yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.        Pengajaran harus disesuaikan dengan kultur sosial dari objek siswa;
2.        Menggunakan metode yang dianggap mudah oleh para siswa;
3.        Melalui pendekatan yang sifatnya komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar.


3.        Rendahnya Persepsi Siswa terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus memperhatikan karekteristik siswa. Hal ini digunakan untuk melihat kecenderungan dan keinginan siswa dalam pembelajaran bahasa tersevut. Menurut Van Els (1984:27) mengklasifikasikan karakteristik siswa atas empat bagian yakni (1) umur siswa, (2) bakat, (3) pengetahuan siswa, (4) sikap yang meliputi minat, motivasi, dan kepribadian.
 Komponen di atas sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran bahasa harus memperhatikan tingkat perkembangan usia siswa. Hal ini berkaitan dengan pemilihan materi atau contoh-contoh yang diberikan guru. Materi bahasa Indonesia yang secara berjenjang diberikan di tingkat satuan pendidikan menghendaki kemampuan guru menganalisis kebutuhan materi dengan baik. Guru juga harus memahami bakat bahasa dan pengetahuan siswa. Karakteristik yang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah sikap meliputi minat, motivasi, dan kepribadian.
Berdasarkan pengalaman di sekolah, persepsi siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia berada pada taraf yang rendah. Kondisi ini berdampak pada rendahnya motivasi siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia. Hal ini berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa.

4.        Pemanfaatan Pokok Sumber Belajar (Buku Teks) dalam Pembelajaran
Karena KTSP dikembangkan dan disusun oleh satuan pendidikan atau sekolah sesuai dengan kondisinya masing-masing, setiap sekolah mempunyai kurikulum yang berbeda. Dengan demikian, bahan ajar yang digunakan juga mempunyai perbedaan. Tidak ada ketentuan tentang buku pelajaran yang dipakai dalam KTSP. Buku yang sudah ada dapat dipakai. Karena pembelajaran didasarkan pada kurikulum yang dikembangkan sekolah, bahan ajar harus disesuaikan dengan kurikulum tersebut. Oleh karena itu, guru dapat mengurangi dan menambah isi buku pelajaran yang digunakan.
Dengan demikian, guru harus mandiri dan kreatif. Guru harus menyeleksi bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan kurikulum sekolahnya.Guru dapat memanfaatkan bahan ajar dari berbagai sumber (surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dsb.). Bahan ajar dikaitkan dengan isu-isu lokal, regional, nasional, dan global agar peserta didik nantinya mempunyai wawasan yang luas dalam memahami dan menanggapi berbagai macam situasi kehidupan.
Untuk pelajaran membaca, misalnya, bahan bacaan dapat diambil dari surat kabar. Di samping surat kabar yang berskala nasional yang banyak menyajikan isu-isu nasional, ada surat kabar lokal yang banyak menyajikan isu-isu daerah. Kedua jenis sumber ini dapat dimanfaatkan. Bahan bacaan yang mengandung muatan nasional dan global dapat diambil dari surat kabar berskala nasional, sedangkan bahan bacaan yang mengandung muatan lokal dapat diambil dari surat kabar daerah. Berdasarkan bahan bacaan ini, guru dapat mengembangkan pembelajaran bahasa Indonesia yang kontekstual. Peserta didik diperkenalkan dengan isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat di sekitarnya dan masyarakat yang tatarannya lebih luas.
Bahan ajar yang beragam jenis dan sumbernya ini tentu juga dapat digunakan untuk pelajaran-pelajaran yang lain (menulis, mendengarkan, dan berbicara). Mengingat pentingnya televisi dan komputer (internet) dalam kehidupan sekarang ini, guru perlu memanfaatkan bahan ajar dari kedua sumber ini. Televisi dan komputer juga dapat dapat dipakai sebagai media pembelajaran yang menarik.
Namun kenyataannya, buku ajar yang digunakan oleh guru merupakan buku ajar yang disusun oleh tim penulis buku yang disetujui oleh Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang digunakan. Bahan dalam buku ajar tidak kontekstual. Untuk itu, idealnya setiap guru atau wilayah harus dapat menyusun buku ajar yang digunakan selingkung dengan mengacu standar isi yang ditetapkan.




5.        Alat Evaluasi yang tidak Relevan
Dalam penyusunan soal tes tertulis, penulis soal harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan soal dilihat dari segi materi, konstruksi, maupun bahasa. Selain itu soal yang dibuat hendaknya menuntut penalaran yang tinggi.
Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara :· mengidentifikasi materi yang dapat mengukur perilaku pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, atau evaluasi. Perilaku ingatan juga diperlukan namun kedudukannya adalah sebagai langkah awal sebelum siswa dapat mengukur perilaku yang disebutkan di atas, membiasakan menulis soal yang mengukur kemampuan berfikir kritis dan mengukur keterampilan pemecahan masalah; dan menyajikan dasar pertanyaan (stimulus) pada setiap pertanyaan, misalnya dalam bentuk ilustrasi/bahan bacaan seperti kasus.
Bila dianalisis soal-soal yang digunakan dalam pembelajaran bahasa ada kecerderungan belum mengukur kemahiran berbahasa khususnya menyimak, berbicara, dan menulis. Kedua kemahiran ini hanya diukur melalui paradigma teoritis. Tes tidak dilakukan untuk mengukur performace kemahiran berbahasa. Keterampilan berbahasa yang tercermin secara penuh hanya kemahiran membaca.
Kecenderungan ini sangat berpengaruh terhadap guru dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembelajaran di kelas. Pada kenyataannya, guru hanya mengajarkan siswa untuk menjawab soal teoritis dan mengabaikan kemahiran berbahasa siswa.

B.       Problematik Pembelajaran Sastra
Secara umum ada delapan faktor yang didefinisikan sebagai momok gagalnya pembelajaran sastra di sekolah-sekolah  , antara lain :
1.        Mitos-Mitos Negatif Di Seputar Dunia Sastra
Mitos-mitos negatif itu antara lain :
1.         Ada yang beranggapan bahwa sastra merupakan dunia para pengkhayal ulung, potret kehidupan para “pekerja” seni, yang seolah-olah dipandang sebagai orang yang kekurangan pekerjaan.
2.        Kehidupan para seniman identik dengan kehidupan yang tidak wajar, bebas, kasar, anarkis, suka mengkritik, berpikiran aneh, berbaju kumal, berambut gondrong, dan sikap eksentrik lainnya.
3.        Dalam hal keilmuan, sastra dipandang hanya menjadi urusan para pakar, kritikus, atau seniman sastra.
4.        Menjadi ahli sastra bukanlah profesi yang menguntungkan secara materiil karena kenyataan memang menunjukan, tidak banyak orang yamg kaya lataranmenjadi ahli seniman sastra.

2.        Dunia Sastra Yang Selalu Terpencil
Pengertian “terpencil” dalam konteks ini tidak hanya mengandaikan lemahnya kegairahan masyarakat untuk membaca dan mendekati cipta sastra, tetapi juga mengindikasikan sikap dan kometmen pemerintah yang cenderung apatis terhadap tumbuh berkembangnya sastra Indonesia – kenyataan seperti ini juga berlaku untuk segala masalah seni budaya pada umumnya. Oleh karena itu, bukanlah suatu kebetulan jika kondisi pembelajaran sastra disekolah-sekolah kita selama ini juga cenderung asal jalan dan kenyataannya memang seperti jalan di tempat.

3.        Teori Sastra Versus Kebebasan Kreatif Seniman
Dalam dunia sastra, adanya konsep licentia poetica seakan telah dipahami sebagai suatu “doktrin” bagi para seniman sastra terutama penyair dalam kebebasan kreatif cipta sastra mereka sehingga ada kecenderungan untuk melanggar batas-batas konvensional, baik konvensi bahasa maupun kovensi sastra.Dengan modal dokrin tersebut, para sastrawan selalu menuntut sifat-sifat kebaruan dan orsinalitas dalam karya-karya mereka. Kondisi semacam itulah yang sangat berpengaruh terhadap pembelajaran sastra di sekolah, terutama jika meyentuh wilayah teoretisnya (aspek kognitif). Akibat selanjutnya, para guru menjadi ragu ketika menjelaskan suatu defenisi, batasan, atau ciri-ciri sastra dan genre sastra tertentu.
Keraguan guru kemudian bersambut pada kebingungan siswa, bahkan mungkin bisa menyurutkan kepercayaan mereka terhadap wawasan keilmuan dan kompetensi sang guru . Jadi, hal ini pun merupakan salah satu problem dalam pengajaran sastra.

4.        Kesalahan Konsep Dalam Pembelajaran Sastra
Kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra ini terjadi aspek afektif kemampuan seseorang bukan karena mengandalkan kemampuan intuitif, imajinatif, dan daya kreatif. Ini terjadi karena guru cenderung mengutamakan pembelajaran sastra dengan meteri-meteri yang bersifat teoritis, hanya menuntut hapalan sejarah sastra serta tokoh-tokoh sastra sastrawan dan karyanya saja.Pembelajaran sastra pada akhirnya derupa dengan pembelajaran geografi, fisika, dan yang lainnya yang menuntut kemampuan kognitif daripada kemampuan afektif siswa.

5.        Keterbatasan Alokasi Waktu Pembelajaran
Proporsi alokasi waktu untuk bidang pembelajaran sastra dinilai tidak seimbang dengan jatah waktu untuk bidang pembelajaran bahasa. Karena pembelajaran sastra sangat luas kajiannya tidak cukup hanya satu atau dua pertemuan dalam satu minggu waktunya pun dibagi lagi dengan pembelajaran bahasa.
Keefisian waktu inilah yang membuat pelajaran sastra tidak berkembang luas, hanya inti-intinya saja yang dibicarakan sehingga siswa tidak paham untuk membuat sebuah karya sastra.

6.        Pola Pembelajaran Dan Sistem Evaluasi
Mulai kurikulum 1975-1984-1994 jika ditelusuri setiap kurikulum hanya mengacu pada bidang pembelajaran bahasa. Baik pendekatan struktural, pragmatik, maupun komunikatif hanya berorentasi pada teori-teori lingustik, sedangkan untuk bidang pembelajaran sastra tampaknya  kurang tersentuh oleh tim perekayasa kurikulum.
Materi pembelajaran sastra masih dominan diisi dengan teori dan sejarah sastra sehingga sistem evaluasi sastra pun lebih banyak menuntut kemampuan ingatan siswa tentangperiodisasi sejarah sastra, nama-nama tokoh sastrawan terkemuka dalam setiap periode atau angkatan, judul-judul buku yang mereka tulis, serta masalah prinsip-prinsip karya sastra. Soal-soal ujian pun cenderung bersifat teoretis, belum mengarah pada peningkatan apreseasi sastra. Jika kondisi ini tetap bertahan,sampai kurikulum-kurikulum yang lebih baru tak akan banyak membawa perubahan yang berarti bagi pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.

7.        Minimnya Jumlah Buku Pelajaran
Dalam konteks ini, persoalan utamayang sering dihadapi oleh guru maupun siswa dalampembelajaran sastra pada umumnya berhubungan dengan pelajaran, baik teks wajibmaupun pelengkap terutama sekolah yang terletak dipedesaan yang sulit untuk menemukan toko buku, perpustakaan umum, maupun mesin fotokopi. Sehingga guru tidak mampu memberikan pengajaran sastra secara apresiatif.

8.        Profesionalitas Guru Terhadap Pembelajaran Sastra
Secara umum, dapat dikatakan bahwa minat dan motivasi rata-rata guru di Indonesia masih sangat kurang terhadap dunia sastra dan pembelajarannya. Oleh karena itu, tidak mengherankanalokasi waktu pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia lebih dominan digunakan untuk bidang pembelajaran bahasa saja. Kendatipun dalam Kurikulum 199,misalnya, telah disarankan agar pembelajaran bahasa dan sastra dapat berjalan secara proporsional, tetapi pada kenyataannya masih banyak guru tidakmengindahkan rambu-rambu tersebut. Masalahnya akan kembali meyangkut sikap, minat, dan motivasi guru itu sendiri terhadap bidang pembelajaran sastra.
Secara khusus problematik pembelajaran sastra misalnya problematik pengajaran sastra di Kalimantan Selatan.Sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra.
Sebenarnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik  internet dan radio. Hal terakhir ini sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada dalam diri siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya sastra mereka secara luas dan kontinyu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.
Selain itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan Kalimantan Selatan kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, guru bahasa dan sastra tidak hanya memperkenalkan sastrawan dari Pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada siswa.
Perlu kita ketahui, bahwa sebagian sastrawan Kalimantan Selatan juga sudah menjadi sastrawan nasional di Indonesia. Sebut saja dua contohnya, Jamal T Suryanata dan Arsyad Indradi. Karya sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di tiap jenjang pendidikan diprovensi ini. Dengan demikian, siswa juga dapat membuat karya sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalimantan Selatan juga ada yang menggunakan Bahasa Banjar dalam berkarya sastra. Bahasa Banjar pun akhirnya bertambah lestari.




BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Secara rinci problematik pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah disebabkan oleh beberapa factor berikut ini, antara lain adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran bahasa tidak komunikatif, (2) pembelajaran bahasa yang disajikan  secara diskrit, (3) rendahnya persipsi siswa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, (4) pemanfaatan pokok sumber belajar(buku teks) dalam pembelajaran, (5) alat evaluasi tidak relevan.
Sedangkan problematik pembelajaran sastra meliputi : (1) Mitos-mitos negatif tentang dunia sastra, (2) dunia sastra yang selalu terpencil, (3) teori sastra versus kebebasan kreatif seniman, (4) kesalahan konsep dalam pembelajaran sastra , (5) keterbatasan alokasi waktu pembelajaran, (6) pola pembelajarandan sistem evalusinya, (7) minimnya jumlah buku pelajaran, (8) profesionalitas guru terhadap pembelajaran sastra.Secara khusus problematik pembelajaran sastra misalnya problematik pengajaran sastra di Kalimantan Selatan. Sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan Kalimantan Selatan kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, guru bahasa dan sastra tidak hanya memperkenalkan sastrawan dari Pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada siswa.